Month: October 2013

dscf1955-copy.jpg

Image Posted on

di kebun teh ciater

Haruskah kita outsourcingkan pemimpin negeri ini?

Posted on Updated on

DSCF1444 - CopyMusibah apalagi yang menimpa negeri kita. Belum habis kita tercengang dengan penangkapan LHI atas dugaan suap impor daging, tak lama setelah kita dikagetkan dengan penangkapan Irjen Djoko Susilo, jendral yang memilik harta milyaran rupiah. Baru-baru ini, jantung kita hampir copot setelah KPK menangkap basah Akil Mochtar, Ketua MK.

Percaya gak percaya, tapi itu nyata. Yang pertama, seorang Presiden Partai yang dikenal Bersih. Yang kedua adalah jendral yang dikenal tidak bermasalah. Yang ketiga, lebih spektakuler lagi karena seorang hakim yang disebut wakil tuhan di muka bumi. Ditengah derasnya arus pemberitaan, pikiran kita seperti dipaksa mengamini bahwa negara sedang sakit.

Negara asing menyorot tajam. Presiden menggelar jumpa pers. Perpu atau perangkat hukum tengah disiapkan. Pakar banyak komentar. Terjadi silang pendapat. Demo masyarakat terjadi. Tak sedikit kaum opportunis yang memanfaatkan kekacauan ini. Meragukan bahkan mendislegitimasi hasil putusan MK.
Masing-masing pihak merasa paling benar. Saksi, Majelis kehormata, pengamat hukum, ahli tata negara, mantan jaksa, mantan cabup, cagub yang kalah ikut berbicara. Hasilnya, masyarakat dibuat bingung, bingung dan bingung. Siapa memainkan siapa, siapa mencari untung siapa, atau dalam bahasa politiknya; siapa dapat apa.

Pemimpin tak dianuti
Maaf jika tulisan ini, menambah bingung pikiran anda. Saya hanya berniat untuk berbagi refleksi. Pada awal tulisan tadi, saya mengilustrasikan tiga orang dengan kapasitas berbeda. Ketua Parpol, petinggi Polri dan satunya lagi hakim konstitusi. Saya yakin anda sepakat bahwa ketiganya merupakan pemimpin. Setidaknya pejabat teras yang mempengaruhi banyak urusan di negeri ini.

Refeksi saya dari sebuah hadist Nabi Muhammad. “jika sebuah urusan dipercayakan pada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu”. Saya mendefinisikan subyektif, pada saat ini negara kita bangkrut. Utang luar negeri bejibun, korupsi bertebaran tak kenal henti, kriminalitas menggila, stress dan depresi mewabah.

Banyak orang gundah, bingung atas ketidaknyamanan yang dialami. Entah alasan ekonomi, hukum, politik, atau kemasyarakatan. Wajah murah senyum, sopan santun, tata krama, menghormati, dan budaya lain yang sering disebutnya adat ketimuran, semakin sulit ditemui. Di jalan, di kantor, di rumah sekarang ini dikagetkan dengan adegan tak logis.

Pembunuhan, bunuh diri, tawuran, pelarian dan ketidakstabilan kehidupan individu maupun masyarakat semakin beranak pinak. Masyarakat kita sedang sakit karena individu-individunya memang sakit. Bergerak sendiri, dengan tindakan yang tak rasional. Di Bandung, seorang pria membunuh ibu pemilik rumah setelah kepergok mencuri tabung gas elpiji. Di jakarta, penumpas bus disiram air keras.

Banyak individu yang kehilangan jati diri. Sementara itu, mereka kehilangan sosok yang diikuti. Sosok yang dipatuhi atau setidaknya disegani. Artis, Polisi, ahli agama, pemimpin parpol, menteri bahkan presiden semakin tak dipercaya. Sebagian masyarakat berpikir dan bergerak sendiri. Undang-Undang, norma, aturan adat tak dihiraukan. Ada yang melawan frontal, tapi pula yang melawan halus.

Outsourcing sebagai pilihan
Semua itu bermula dari lemahnya kepemimpinan. Di tengah masyarakat muncul distrust. Pemimpin yang sebelumnya dibayangkan seperti dewa, ternyata durjana. Wajah ramah, murah senyum, pendidikan tinggi, gelar agama tinggi, ringan membantu orang, ternyata masih korupsi, berselingkuh, menebar suap dan tindakan tak patut lainnya.

Inilah titik dimana saya menyimpulkan. Lima belas tahun kita menjalankan reformasi, apakah hasil sementaranya seperti ini?. Semoga bukan apriori, tetapi lima belas tahun bukan masa yang pendek. Bayangan kita pada tahun 1998, dengan reformasi, otonomi, keterbukaan informasi, demokrasi , hak asasi ataupun jargon lain adalah untuk mensejahterakan masyarakat.

Salah satunya untuk mendaulat kepemimpinan efektif, dipercaya dan berdaya guna. Setiap pilkada, pilgub, pileg, bahkan pilpres selalu tersirat dihati akan munculnya sosok pemimpin penyelesai masalah. Tapi apa dikata, tiga kali berganti rezim, negara ini tampaknya kian terseok. Produk impor membanjiri, produsen dalam negeri terlemahkan.

Petani menjerit, pedagang menangis, PKL digusur, sementara itu busung lapar dan gizi buruk masih terjadi dan yang paling tragis semakin banyak anak negeri yang melarikan diri keluarga negeri untuk mencari sesuap nasi. Apalagi kalau bukan dengan menjadi TKI/TKW yang sebagian suguhan ceritanya selalu mengenaskan. Kalo gak diburuk, dipenjara, disiksa, diperdaya, atau bahkan dihukum pancung.

Negara semakin kehilangan wibawa. Pemimpin hanya dianggap nama. Peran diabaiakan. Semua karena tidak adanya keteladanan. Pemimpin yang mestinya bersih duluan, malah kotor duluan. Pemimpin yang harusnya bersahaja dan sederhana, malah bergelimang harta. Pemimpin yang harusnya bekerja keras, malah kerja dan liburan santai.

Keteladanan sebagai kata kunci
Disinilah muncul tanya besar. Di tengah berkecamuknya protes, ketidakpuasan masyarakat terhadap berbagai model kepemimpinan, entah karena penunjukan, karena pemilihan dan media lain, tampaknya kita perlu berfikir, mungkinkah kita outsourcingkan kepemimpinan di negeri ini? Kita percayakan pada bangsa yang terkenal jujur, tidak korup dan mau bekerja keras. Ambil contoh bangsa jepang.

Tentu bukan maksud untuk penjajahan. Tetapi bagiamana kita menghadirkan pemimpin yang bisa memberi keteladanan nyata. Setelah kepercayaan masyarakat tercipta lagi, kita bisa mengangkat kembali pemimpin dari negeri sendiri. Tentu sistem outsourcingnya kontrak. Dengan begitu kita bisa evaluasi plus minusnya.
DSCF1444 - Copy
Yang pasti ketidakpercayaan terhadap pemimpin di negeri ini akan sulit dipulihkan. Outsourcing sebagai jalan singkat untuk memulihkan itu. Kita perlu mencoba di ambang kegagalan negara ini. Tak usah takut, karena kita harus mencoba.