Latest Event Updates

Tumpah tindah program Pemberdayaan

Posted on

Istilah empowering, strengthening, development dalam pembangunan masyarakat paska reformasi 1998 semakin marak. Indonesia tergolong negara yang latah menggunakan istilah itu. Atas nama pengurangan dan penanggulangan kemiskinan, berbagai program melekatkan istilah keren tersebut. Tak hanya di oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, kabupaten bahkan desa pun ikut-ikutan mengadopsi.

Seakan sepakat, pemberdayaan disebut sebagai pola yang tepat menyelesaikan persoalan kemiskinan. Dalam paradigma pemberdayaan, masyarakat diposisikan sebagai subyek penentu dalam perencanaan dan penetapan keputusan. Mereka diberi ruang yang cukup untuk mengerti atas persoalan sekaligus cara menjawabnya. Pemberdayaan dimulai dari, oleh dan untuk mereka.

Atas paradigma itulah, pemerintah membuka kran lebar terhadap masuknya program asing. Bukan hanya yang berskema hibah, yang menggunakan pola pinjaman pun juga diambil. Di berbagai kementrian sejak tahun 1998 bermunculan aneka program dengan aneka istilah. Di satu kementrian bahkan terdapat lebih dari 5 program unggulan. Antara satu direktorat dengan yang lain saling berebut peran.

Sementara itu, prinsip lintas sektor juga diintroduksikan. Gaya pembangunan egosektoral seperti pada jaman Orde Baru mulai ditinggalkan. Namun, dalam 15 tahun evaluasi gaya implementasi program pemberdayaan paska reformasi tahun 1998 menunjukan gambaran buram. Pertama, tetap saja egosektoral antar kementrian, antar direktorat, antar lembaga, hingga antar provinsi, kabupaten dan desa tetap kuat.

Banyak kegiatan pembangunan yang belum tersinergikan. Ambil contoh, program peningkatan kesehatan yang dilaksanakan oleh Kementrian Dalam Negeri misal dalam program PNPM Generasi Sehat dan Cerdas, apakah sudah terintegrasi dengan program yang dikawal oleh kementrian kesehatan? Sama halnyap program pembangunan infrastruktur yang dilakukan di PNPM Mandiri Perdesaan, apakah sudah koordinatif dengan Kementrian PU atau dibawahnya.

Dalam pengamatan di lapangan, terlihat adanya ego sektor dimana masing-masing program ingin berjalan sendiri-sendiri. Meskipun tujuan dan sasarannya sama. Dari pihak pengelola program (leading sector) seperti tak ingin kehilangan pengakuan dari prakarsa maupun keberhasilan pelaksanaan.

Maka bisa kita saksikan banyak program yang telah tumpah tindih. Antara yang satu dengan yang lain seakan berlomba padahal dalam sasaran yang sama. Ambil contoh sederhana program PNPM Perdesaan dan GSC (Kemendagri) dan PPIP (Kemen PU), dengan program provinsi Jawa Barat seperti Raksa Desa, Pembangunan Infrastruktur Desa, Desa Mandiri Peradaban, dan lain sebagainya.

RPJM Nasional belum menjadi kerangka acuan RPJM provinsi, kabupaten dan Desa. Wajar jika angka kemiskinan di negeri ini naik-turun di angka yang relatif sama. Hasil kinerja program seperti jalan ditempat. Tumpang tindih menjadi persoalan yang tak terselesaikan karena pihak berkepentingan kurang beritikad untuk duduk bersama menyamakan persepsi. Semua bermuara pada adanya ego pribadi atau institusi.

Mengambil sila ketiga Pancasila yaitu Persatuan Indonesia, harusnya pemimpin atau pengelola program baik ditingkat pusat, provinsi, kabupatan/kota ataupun desa harus melakukan refleksi. Pertama, mengurangi gaya pelaksanaan program yang masih kental egosektoral. Kedua, mengurangi atau menghentikan program yang justru memicu keretakan sosial atau persatuan masyarakat.

Satu hal yang harus dicatat, ditengah gencarnya realisasi program pemberdayaan atau sejenisnya, masyarakat baik di desa ataupun kota telah pada titik jenuh. Sebagain besar mereka sekarang tak lagi bersemangat untuk berswadaya, peduli dan ambil bagian dalam proses. Bahkan, mereka mulai membanding-bandingkan antara program satu dengan yang lain. Persoalannya, yang dibandingkan adalah potensi keuntungan materi jika melaksanakan program tersebut.

Akhir tahun 2013 menjadi saat yang tepat bagi pemerintah di level manapun, untuk melakukan refleksi mendasar agar di tahun 2014 tidak terjadi pelaksanaan program yang tumpang tindih. Memang tidak mungkin dalam waktu cepat, tetapi dimulai dari atas dulu agar bisa ditiru dan dicontoh oleh pemerintah daerah. Yang pasti dengan mengurangi tumpang tindih program, kemanfaatan program untuk masyarakat semakin terlihat.

Angkringan sebagai budaya tanding

Posted on

Angkringan adalah sebutan populer warung khas Jogja. Hampir serupa, kalau di daerah Solo dan Klaten disebutnya warung HIK yang konon plesetan dari hidangan istimewa ala kampung. Angkringan selalu memiliki ciri khas. Pertama, sajian makannanya di atas gerobak dorong beratap terpal plastik. Di sekelilingnya terdapat bangku kayu berukuran tinggi untuk menyesuaikan duduk pembeli dengan meja gerobak tempat makan.

Berikutnya, di bagian kanan meja terdapat tungku pembakaran. Biasanya terdapat dua atau tiga lubang dengan arang terbakar di bawahnya. Selain untuk memanasi air, fungsinya juga bisa untuk memenuhi keinginan pembeli apabila ingin membakar sate usus, ceker dan, jahe bakar lain sebagainya.

Citi ketiga yang paling khas adalah sajian nasi berbungkus kecil seukuran kepalan tangan anak kecil. Umumnya berlauk teri. Tapi banyak juga berlauk tempe atau pindang.  Itulah yang disebut sego kucing. Dalam tradisi guyon, disebut sego kucing  karena ukuran berikut lauknya lebih cocok untuk kucing. Tentu kita merasa aneh pula pada awalnya mendapati nasi berukuran kecil itu.

Nah, untuk memeriahkan lidah saat menyantap sego kucing di angkringan selalu tersedia aneka lauk. Letaknya tersaji persis di depan mata, berjejer dalam nampan dan tentunya siap disaut untuk disantap. Aneka lauk seperti telur puyuh, tempe bacem, ceker ayam, dan aneka sate seperti usus, ati ampela dan lain sebagainya.

Paket minuman yang disediakan pun khas. Biasanya teh, wedang jeruk, lemon tea (perpaduan teh dan jeruk), wedang jahe, kopi, kopi jahe. Kalaupun ada minuman tambahan biasanya yang bersifat instant. Gelas yang digunakan umumnya berukuran besar dan pilihannya hanya itu. Jarang dijumpai menggunakan cangkir atau gelas kecil.

Di malam hari, warung angkringan biasanya menggunakan lampu ublik. Lampu berbahan bakar minyak tanah ini menyuguhkan cahaya temaram dan justru inilah yang memberi kesan syahdu dan hangat. Karena hanya tersedia dua –tiga banguku duduk, posisi pembeli hampir selalu berdempetan ketika ramai. Sambil mengelilingi aneka lauk, pengunjung seperti berkompetisi untuk mengambil menu yang disuka.

Selain harganya yang relatif murah, suasana seperti itulah yang disukai pembeli.Ada percakapan hangat antara satu pembeli dengan lainnya. Bahkan seperti tak sekat, karena di warung angkringan tidak ada istilah satu pembeli satu bangku atau satu kursi. Semunya berhimpitan dan berdesakan dengan harmoninya. Tanda ungkapan persamaan nasib yang diistilahkan berdiri sama tinggi, duduk sama rendah.

Angkringan adalah memang warung tradisional biasa. Tetapi “ngangkring” adalah budaya karena melibatkan banyak individu dalam waktu lama dalam ikataan perilaku yang relatif sama. Tentang duduknya, tentang minat terhadap makanannya, suasana ataupun kejiawannya. Tak hanya untuk urusan perut (biologis), “ngankring” menjadi media pertemuan sosial.

Tak jarang, bagi mereka yang sering ke warung angkringan, ditanya temannya sudah “ngangkring” atau belum. Istilah “ngangkring” telah menjadi suku kata interaksi sosial. Karena sifatnya untuk bertemu darat, “ngangkring” akan menandakan karakter seseorang. Bagi mereka yang individualis, kuper (kurang pergaulan) atau tidak suka berinteraksi sosial, tentu sulit untuk mengikuti budaya angkring.

Nah, “ngangkring” inilah yang saya sebut budaya tanding. Ditengah menjamurnya warung modern khususnya franchise restoran asing, yang tentu membawa karakter asing, ternyata warung angkringan menjadi lawan yang tak kalah hebatnya. Sebab, lebih menyuguhkan karakter asli orang indonesia.

Interaksi, gaya, sikap dan keluwesan di warung angkringan tentu tidak didapat di restoran asing. Meski pembeli sama-sama duduk di satu tempat, dan berulang-ulang sehingga sudah saling kenal tentu tak akan muncul pertanyaan sudah MacD belum, sudah PizaaHut belum, sudah CFC belum dan lain sebagainya.

Angkringan telah membentuk budaya solider pembelinya. Nah, bisa dibudayakan lebih massif bukan tidak mungkin efektif untuk mengurangi kesenjangan sosial yang terjadi ditengah masyarakat sebagai akibat menjamurnya budaya individualis di negeri ini. Kita juga bisa membayangkan, jika pemimpin negeri ini solider, memimiliki persamaan nasib dengan rakyatnya, tentu akan memudahkan mereka membangun bangsa tanpa korupsi.

Angkringan adalah lokus pengembangan budaya yang menunggulkan kebersamaan. Sebab, dengan interaksi “ngangkring” setiap kita akan mengerti betapa pentingya orang lain. Disitulah pula kita belajar perlunya harmonis, keberagaman, perbedaan, dan penghargaan untuk kehidupan sosial yang tertata.

Saat ini warung angkringan telah bertebaran di berbagai Kota. Tak hanya Jogja, Solo dan sekitarnya kini dapat dijumpai di Surabaya, Bandung, Bekasi dan kota lain dalam jumlah yang terus bertambah. Tetapi, ini bukan semata-mata persoalan warungnya, lebih kepada budaya “angkring” yang secara positif bisa menguatkan kerekatan sosial

Batu Bata Kenangan Ibuku

Posted on

Paceklik jd masa susah di desaku. Apalagi bagi mereka yang tak punya sawah. Hidup di desa pegangan utama ya sawah. Selebihnya rojokoyo seperti ternak sapi, kerbau,wedus dsb.ternak ayam jg menguntungkan. Paling tidak  bisa menyambung hidup. Saat itu aku kelas 1 SD.

Aku terlahir disebuah dusun bernama Lemi, desa Jajar, Kec Karangmojo, Magetan. Saat aku masih kecil, di sekitar rumahku sering terendam banjir di musim hujam. Luapan air dari belakang rumah kadang memasuki rumah. Sekolahpun kadang diliburkan karena jalan menuju kesana tak bisa dilewati.

Tetapi di musim ketigo (kemarau) tiba sangat berbeda. Air pun susah di dapat.Lahan sawah pun banyak yang “bero” (telantar). Petani tak mau ambil resiko rugi. Karena susahnya air. Kekeringan menjadi kendala utama. Begitu pula dengan kanal (sungai buatan) di 20 mtr utara rumah.Saat-saat seperti itulah, wadeg (sebutan lokal untuk lumpur endapan) menjadi incaran.

Salah satunya untuk dijadikan bahan pembuatan batu bata. Tak kuketahui, sejak kapan ibuku pandai mengaduk wadeg. Yang pasti, di dekat sumur samping rumah terdapat kubangan. Fungsinya untuk mengaduk.Ukuranya 2×2 mtr dengan kedalaman  1 mtr. Dengan dicampur air, wadeg tersebit diperhalus dgn injakan kaki.Ibu melakukanya dengan serius.

Dipungutnya ranting, batu atau material lain yang membuat adukan tidak halus. Panas matahari tak dirasa. Semua demi adukan yang sempurna. Sekitar 2-3 hari, wadeg yang masih basah diambil dalam timba. Lantas, dimasukin ke cetakan batu bata. Butuh kehati-hatian cetakan tidak rusak hasilnya. Bagi pemula, setelah cetakan diisi wadeg, biasanya mleyot alias rusak. Tapi bagi yang terbiasa, tampak kelihatan mudah.

Satu cetakan berisi 6-8 potongan batu-bata. Tergantung model cetakannya. Setiap potongan, ketika basah biasanya dicoret dengan jari telunjuk. Sebelumnya, agar halus permukaan dan rata, permukaan cetakan diberi air.

Setelah satu cetakan berhasil, maka berpindah ke lahan di sebelahnya. Ibuku melakukan penuh telaten. Tak terasa, separo halaman rumah yang telah kering dari rumput telah berisi cetakan batu bata. Kejadian ini di musim ketigo itu. Tentu panas matahari dibutuhkan utk mengeringkan batu bata. Jika mujur, cukup seminggu. Tetapi jika kurang, sampai dirasa kering benar.

Setelah itu ibuku memungut potongan demi potongan batu bata. Kondisinya masih mentah. Agar bentuknya rata, tepi batu bata dibersihkan dari sisa tanah dengan menggunakan pisau. Setelah dipastikan kering betul, ibuku menata nya dengan indah. Batu bata tampak saling bertumpukan.

Jika kesulitan, ibuku dibantu tetangga untuk menyusun kerapian batu-bata sebelum dibakar. Tentunya tak sekedar menyusun karena harus memudahkan sekam masuk dicelahnya. Sekam dibeli dari penggilingan padi di desa sebelah. Saat-saat seperti itulah yang menjadi kenangan bagiku. Biasanya awal pembakaran batu-bata di malam hari. Dilanjutkan sampai bener-bener merah tanda matang.

Pada saat malam, api sekam akan membesar bila ditiup angin. Warna merah menyala akan tampak. Apalagi di desaku waktu itu belum berlistrik. Lebih dari seminggu ibu mengisi sekam pada bagian yg telah jadi angus. Tujuanya agar pembakaran trus berlangsung. Asap akan mengepul tinggi. Saat itu bulan purnama.

Aku yang masih kecil, ditaruh di emperan mushola tak jauh dari halaman tempat pembakaran batu bata itu. Bau asap tercium tajam. Meski aku ngantuk dan kadang (tertidur), aku sempat melihat bayangan tubuh ibu yang  telaten  memeriksa api sekam agar terus menyala.

Sekarang bayangan itu sering muncul saat aku tak sengaja mencium asap sekam pembakaran batu bata. Sepertinya, batu bata yg dibuat oleh ibu sbg tanda kasihnya padaku..inilah cara terbaik Allaah mengingatkanku, pada hal-hal yang membuatku selalu menangis sejak 13 tahun silam ditinggalkan oleh Ibu…(Allaahumagfirllaaha warhamha waafihinwa’fuanha)

Krupuk Pak Waji; Tanda Kasih Ibu

Posted on

Pak waji,almarmhum, adalah tetanggaku. Cukup dekat karena rumahku dengannya hanya dipisah jalan. Lebarnya sekitar 3 mtr. Jadi cukup dekat. Sehari-hari beliau berjualan krupuk. Dengan sepeda ontel dia biasa berkeliling  menjajakan krupuk. Jualannya bukan desaku, atau desa tetangga, tetapi desa nun jauh di sekitar kecamatan maospati.

Cerita bermula saat aku msh sekolah SD. Tak kuingat pasti sejak kelas berapa. Yang pasti sejak kecil aku telah menikmati krupuk gurih pak waji. Ibu tercintalah yg sering mendatangi rumah pak waji. Apalagi, kalau bukan utk beli krupuk untuk lauk makan.

Selain rambak, tersedia pula opak asin. Opak adalah sebutan lain krupuk di kampungku, dusun lemi desa jajar,kartoharjo, magetan. Ibu sering bertanya padaku” mau opak rambak atau asin?”. Begitulah. Hampir tiap hari, khususnya wkt sarapan, selalu tersedia krupuk sbg lauk utama. Karena ketagihan, aku sering ngambek makan bila tak ada krupuk.

Aku tak menyebut hidup kala itu susah. Memang keluargaku tak cukup berharta. Sawah tak punya. Ladang juga. Peliharaan sejenis kerbau, sapi juga tak punya. Nyaris penghasilan tak menentu. Bapak bekerja di Jakarta sebagai kuli bangunan. Pulang sesekali saja. Pernah juga merantau ke Kalimantan. Tapi akhirnya pulang juga karena tak cukup berhasil.

Sehari-hari, untuk menghemat biasanya aku dan ibu makan berlauk seadanya. Kadang cukup dengan sambal korek. Cabe mentah yang diulek diatas layah dicampur bawang. Praktis dan pedes. Jika kepedesan, ibu sering bilang “biar cepet gede nak!”.

Makan nasi sambal paling enak berlauk krupuk. Bagiku, bisa makan krupuk sudah alhamdulillaah. Selain murah, suasana jadi ramai. Sebab, ketika krupuk dikunyah selalu ada suara kriuk kriuk. Ibu bekerja serabutan. Kadang jadi buruh tandur,matun, bikin batu bata, kadang jahit, dsb). Disitulah aku jadi paham.

Ya, tentang hidup yg tak harus dimanjakan situasi. Tentang kesederhanaan. Tentang sikap sabar dan sadar diri. Juga tentang falsafah hidup lain yang baru kupetik saat ini. Kesetiaan ibu membelikan krupuk di rumah pak waji selalu mengingatkaku. Ia adalah sepenggal kisah cinta ibu padaku. Anak semata wayangnya.

Mungkin tak menarik bagi orang lain, sebab semua orang hampir bisa beli krupuk. Tapi tidak bagiku. Krupuk tetaplah bagian terindah dari sekian lauk. Wajar jika sampai sekarang aku hobi makan  krupuk. Dan dengan itulah aku bersyukur. Karena dengan makan krupuk aku selalu mengingat kasih almarhumah ibu meski harus menetes air mata.

Siapa yang tak menangis ketika ibu tercinta dimakamkan tanpa kekutehaui jasadnya. Saat itu, aku yang masih kuliah di jember, tak cukup waktu karena jauhnya perjalanan. Setelah dinanti 8 jam tak kunjung tiba, jenasah ibu dimakamkan tanpa aku mengantarnya di liang kubur…

Terima kasih ya Allah, engkau cintakan aku pada krupuk yang membuatku selalu ingin berdoa “Allaahumagfirllaaha warhamha waafihi wa’fuanha…”

Daun Semanggi Ibu

Posted on

Jemari ibu begitu terampil. Pucuk daun semanggi yang tumbuh di sawah dipungut satu per satu. Daun yang telah terkumpul satu tekam, dimasukan kresek. Sore itu hujam gerimis. Agar tak basah, ibu memakai kudung capil, topi dari anyaman bambu berbentuk bulat dan lebar.

Aku yg saat itu duduk di kelas 2 SD, melihat dgn ngowoh. Ibuku tampak cekatan. Tak sampai 15 menit, semunya selesai. Satu kresek semanggi berhasil dibawa pulang. Dalam perjalanan pulang, aku dan ibu terdiam meski hatiku bertanya semanggi buat apa. Kan hanya tumbuhan liar di pinggir pematang sawah? yah, semua hanya jadi gumamku.

Sesampai di rumah, aku mengikuti ibu ke dapur. Aku melihat, kresek yang berisi semanggi telah dicuci. Sejenak, kulihat ibu menyalahkan kayu bakar dari bambu lapuk yang tersedia menumpuk tak jauh dari tungku. Suara korek jess, sebutan korek api, tampak nyaring terdengar.

Api tak langsung membesar karena kayu kecil dibakar lebih dulu. Di atas tungku terdapat dua lubang. Di desaku, dapur disebut “pawon” dan tungku biasa disebut “pawonan”. Pawon telah menjadi cerita tak terlupa di hidupku. Sebab, disitulah aku mendapat untaian kasih ibu.

Hari sudah petang, semanggi yang telah dicuci dipindahkan ibu ke dalam “dandang” , sebutan panci dikampungku. Dandang  berisi air, kira-kira separonya. Lantas, dandang tersebut diletakan diatas tungku. Api tampak mulai membesar. Aku yang merasa kedinginan berupaya mendekat. Sambil menjulurkan tangan aku ingin mendapat kehangatan.

Sesekali, tanganku memainkan kayu bakar yang habis termakan api. Kayu yang hangus jadi abu, aku ganti. Itulah saat-saat paling menggembirakan.Ibuku tidak cerewet. Hanya sesekali mengingatkanku “hati-hati, awas tangannya kena api!”.

Sejenak kemudian, aku lihat ibu menaruhkan beberapa bumbu diatas panci. Entahlah, apakah itu bawang, gula, garam…karena aku asyik bermain api di tungku, aku seperti tak mau tahu. 15 menit berlalu, kulihat ibu mengangkat panci yang berisi semanggi tersebut. Dituangkannya dalam dua buah mangkok yang dibawanya ke ruang makan.

Aku masih asyik bermain api didekat pawonan. Tak lama, ibu memanggilku. “iii….iiii..” begitulah ibu sering memangilku. Aku yang tak menggubrik panggilan itu, dipanggil lagi “iii…iii”. Tak ingin kena marah, akupun mendatangi ibu, kulihat diatas meja sepiring nasi putih. Disebelahnya terdapat semangkok semanggi.

Aku berkata kepada ibu,”ini semanggi yang diambil di sawah tadi bu!”, ibuku mengangguk tanda iya. Perutku yang sudah lapar sejak disawah, langsung mengajaku menyantap sayur semanggi. Kuahnya aku sruputlebih dulu. Memang masih panas, tapi rasa manis dan nikmat begitu terasa.

Tak ingin lama, akupun segera menumpahkan sebagian sayur dan kuah semanggi keatas nasi. Saat itu aku tak melihat ibu. Ternyata dia pergi kerumah pak waji. Apalagi kalau bukan membelikanku krupuk. “iki krupuke!” kata ibu. Aku pun langsung menyaut opak asin kesukaanku itu.

Rasa manis gurih sayur semanggi, ditambah renyahnya opak asin telah membawaku dalam kenikmatan. Suara adzan magrib berkumandang. AKu masih asyik menghabiskan nasi dan sayur semanggi. Padahal, suara adzan itu terdengar dari langgar (mushola) samping rumahku. Ibuku mengingatkanku agar segera mengakhiri.

Saat ini, semanggi telah menjadi kenanganku. Ia telah jd tanda cinta ibu pdku….sbb itulah aku mengingatnya. Aku tak ingin kehilangan cinta meski 13 tahun lalu engkau telah berpulang ke rahmat Allah..I love you ibu, semoga Allah SWT mempertemukan kita nanti (Allaahumagfirlaha warhamha waafihi wafuanha)

Liburan ekonomis dengan Kereta Ekonomi

Posted on

Minggu pagi (15/12), pukul 05.00 WIB aku bergegas membangunkan kedua anaku. Mereka yang tertidur pulas, dengan goyangan lembut terbangun. Waktu itu, cukup aku bisikan di telinga anak pertamaku, Akira (4 thn) waktunya naik kereta api. Tak pake lama, dia langsung bangun berdiri. Meski sempoyongan dengan mata sebagian masih terpejam, Akira langsung menuju ke ruang belakang dekat kamar mandi.

Sementara itu, Aiko (2thn) anak keduaku, juga telah terbangun. Mengikuti kakaknya, dia langsung menyusul ke ruang belakang. Istriku yang bangun lebih dulu, tampak sibuk mencuci pakaian. Aku lihat, seluruh cucian tinggal di jemur. Jam bergerak 5 menit dari pukul 05.00 WIB, aku yang kian panik segera meneriaki istri agar segera bersiap.

Istrikupun mengangguk setuju. Akira dan Aiko segera digelendeng ke bak mandi. Setelah baju dilepas, keduanya diguyur air. Tampak keduanya menggigil kedinginan. Tak lama, keduanya dibalut handuk untuk mengeringkan. Segera, aku ambil pakaian untuk Akira dan Aiko sedangkan istri minta ijin mandi tak lebih dari 5 menit.

Sempat panik

Jam dinding di ruang tengah rumah menunjukan pukul 05.15. Sisa 15 menit untuk menuju stasiun gedangan yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah. Aku yang tak mau ketinggalan, langsung menghidupkan motor. Akira dan Aiko juga sudah berlari berebut naik motor. Tak ingin ketinggalan aku teriaki istri yang masih di dalam kamar. “Cepet mi,..!!” kataku.

Setelah istri naik, akupun melajukan motor. Di tengah jalan, istri minta mampir ke Pasar gedangan untuk beli pampers untuk Aiko. Aku sempat meragukannya, karena takut terlambat. Tapi setelah istri bilang, letak tokonya dipinggir jalan aku pun menyanggupinya. Dua buah pampers telah dibeli istri sementara waktu terus berjalan.

Motor langsung kutancap gas. Sisa waktu 7 menit kami tak ingin ketinggalan. Padahal, motor harus dimasukin penitipan dulu. Alhamdulillaah, oleh petugas penitipan motor cukup ditaruh didepan pintu masuk. Akupun dibolehkan meninggalkan setelah mendapat kartu penitipan. Dari tempat itu, aku menggendong Aiko sedangkan istri menggandeng akira.

Meski deg-degan, akhirnya lega juga. Kaki kami telah menginjak di pelataran stasiun gedangan. Stasiun kecil dengan lebar sekitar 14 meter itu, hanya dilewati kereta ekonomi dan komuter. Tentu tak seramai stasiun Sidoarjo Kota. Letak stasiun gedangan sangat strategis, karena berjarak 15 meter dari jalan raya Gedangan yang menghubungkan Kota Surabaya-Sidoarjo.

Hari rekreasi keluarga

Hari minggu, tampaknya menjadi hari ramai orang beserta keluarga mengendarai kereta api. Tampak orang tua yang menggandeng putra-putrinya. Sebagian masih berumur kecil antara 2-6 tahun. Mereka tampak ceria sambil sesekali lari menuju rel dan menoleh ke arah utara dan selatan, ngecek kali aja kereta sudah datang melaju.

Aku yang membeli tiket sehari sebelumnya, telah diberitahu petugas stasiun bahwa tiket yang kubeli tidak ada tempat duduknya. Kepada istri sudah kubilangin untuk menyiapkan alas plastik.  Menempuh perjalanan sekitar 2,5 jam tentu menguras energi. Tujuan rekreasi jangan berbalik menjadi cerita menyedihkan karena lapar dan gangguan logistik lainnya.

Maka pagi sebelum berangkat aku sudah pergi ke toko untuk beli air mineral, roti dua bungkus, serta satu kotak wafer aku sediakan. Aku pilih wafer karena aku tahu kesukaan Akira dan Aiko pada makanan itu. Karena belum sempat sarapan, tentu mereka juga akan senang dengan makanan dan minuman itu.

Harga tiket Rp.4 ribu

Sehari sebelumnya Sabtu (14/12) pukul 12.30 aku mendatangi loket stasiun. Bersama Akira aku hendak memesan tiket untuk keberangkatan besok. Petugas berkata, “jam 1 nanti mas, loket baru buka”. Sembari menunggu setengah jam, akupun mengajak Akira ke warung tak jauh dari stasiun. Di warung pinggir rel itulah aku sempat membeli kopi. Akira sendiri kubelikan energen. Tampak kereta api lewat dan Akira berteriak kegirangan melihatnya.

Tak sadar, 10 menit lepas dari pukul 13.00. Tak ingin ketinggalan aku langsung membayar ke penjaga warung, menghidupkan motor dan mengajak akira ke stasiun. Ketika parkir, aku sempat kaget karena kulihat antrian pembeli tiket. Jumlah tidak kurang dari 7 orang. Aku berdoa dalam hati, semoga masih kebagian tiket untuk keberangkatan besok.

Ya, hari itu aku ingin memastikan mendapat tiket untuk keberangkatan ke Malang. Tertera di papan informasi nama kereta yaitu KA Penataran. Di papan itu terpamapng pula jama keberangkatan dan kedatangan dalam sehari. Kalau tidak salah, sehari ada 5 kali. Paling pagi pukul 05.34 WIB. Setelah itu pukul 08.00, pukul 12.00, dan pukul 02.00

Akira yang sangat senang melihat kereta kulihat selalu berlari menerobos pintu yang dijaga petugas. Mungkin karena masih kecil, petuga juga membiarkan. Semakin tak sabar aku menunggu giliran. Sekitar 20 menit kemudian, aku sudah tepat berada di depan petugas loket. Lokat kecil nan sempit hanya memperlihatkan wajah petugas tak utuh.

Untuk berbicara juga harus agak keras karena batasan kaca di loket. Kepada petugas aku mengatakan untuk beli tiket ke Malang besok pagi. Petugas pria itu sambil melihat komputer bertanya untuk berapa orang. “untuk 4 orang mas, 2 dewasa, 2 anak,” ujarku semangat. Tak sampai 1 menit, petugas memberitahu masih ada kursi tetapi tanpa tempat duduk.

Sejenak hatiku lega, segera ku tanya bagaimana dengan tiket pulangnya. Aku berpesan jika ada yang sore hari. Dikatakan oleh petugas, sudah tak ada. Sisa pukul 12.00 WIB. Itupun tanpa tempat duduk pula. Tak pikir panjang, aku pun berkata kepada petugas membelinya. Yang mengagetkan, sekaligus menggembirakan, tiket yang kubeli per orang seharga Rp. 4 ribu. Dikalikan empat orang jumlah uang yang kebayarkan sebesar Rp.16 ribu.

Karena aku beli tiket pulang untuk 4 orang yang sama, totalnya menjadi Rp.32ribu. Uang pas kukeluarkan dari sakuku. Bersamaan pula petugas menyerahkan delapan lembar tiket di kertas yang masih menyatu. Cukup lega. Paling tidak rencana rekreasi naik kereta api untuk hari minggu pagi telah terselesaikan satu tahap.

Kereta Penataran datang

Minggu pagi itu, sembari membetulkan nafas yang tersengal, saya bersama istri berdiri menanti kedatangan kereta api penataran. Di stasiun gedangan dulunya sempat kulihat ada bangku untuk duduk calon penumpang. Hari itu tak kulihat lagi. Tak sampai 7 menit, Dari speaker stasiun gedangan, petugas mengumumkan agar calon penumpang menjaga jarak dari rel. Tampak memang, kerumunan penumpang berjejer di pinggiran rel waktu itu.

 

Sanyup terdengar suara khas kereta apik jug ijag ijug. Tampak dari arah utara (surabaya) loko dan bodi gerbong kereta api bercat warna kuning. Akira yang paling senang melihat kereta langsung mendekat. Tak ingin terjadi apa-apa, aku memegang tubuhnya agar jangan terlalu mendekat agar tidak kesrempet KA. Setelah loko dan gerbong berhenti sempurna, kulihat puluhan penumpang keluar dari pintu masing-masing gerbong.

Aku sendiri bingung mencari pintu yang kosong karena hampir semua pintu disesaki orang keluar. Akira berdiri disampingku, sedangkan istri bersama aiko digendongannya. Agak tak sabar, akhirnya aku menerobos masuk melalui pintu yang masih ada orang keluar darinya. Aku sadar sikap itu salah, tetapi pintu kereta cukup menampung dua orang. Jadi, aku masuk bersamaan orang keluar nyatanya juga bisa.

Yang kutahu pula, kereta juga tak akan lama berhenti. Akira segera kuangkat ketas lebih dulu. Tubuhku menyusul keatas kemudian. Pintu yang kumasuki tidak ada tangga penghubung jadi cukup tinggi. Alhamdulillaah, aku dan akira telah masuk ke dalam kereta. Tapi tiba-tiba aku dikagetkan dengan pertanyaan dimanakah istri dan aiko? Upps ternyata mereka sudah ada didalam gerbong lebih dulu. Tiket

Tanpa Tempat Duduk

Kami yang sudah mengerti tak punya tempat duduk pertamanya hanya berdiri di sela-sela kursi. Tetapi setelah kulihat banyak kursi kosong, aku minta istri ambil tempat duduk lebih dulu. Pikirku, ntar kalau ada penumpang di kursi tersebut bisa bergeser atau berpindah. Akira dan istri duduk dibagian gerbong paling ujung dekat pintu keluar, atau lebih tepat nya di toilet.

Kursi yang diduduki istri, aiko dan akira hanya untuk dua orang. Berhadapan dengan dua orang bapak-ibu. Aku yang melihat kursi ditengah kosong, menghampirinya. Sejenak kusandarkan punggung ke kuris kosong itu. Wah nikmat juga ternyata. Sementara itu kereta telah bergerak menuju kota sidoarjo. Akupun kembali menghampiri istri, kuberitahu jika di kursi tengah kosong.

Aku merayu agar dia, akira dan aiko mau duduk bersama. Awalnya, akira yang lagi asyik mengarahkan pandangannya keluar jendela gerbong menolak gak mau. Tetapi setelah dibilangin berkali-kali akhirnya mau. Di kursi tengah itulah, untuk kapasitas 3 orang dan berhadapan dengan kursi depan untuk tiga orang pula kami duduk asyik.

Segera kukeluarkan dua buah susu kotak kesukaan akira dan aiko. Sementara aku mencari sedotan, akira dan aiko sudah berebut susu tersebut. Istriku dengan sabar menenangkan mereka sembari menusukan sedotan ke susu kotak tersebut. Akira terus asyik melihat dari jendela gerbong. Susu kotak telah dipegangnya di tangan, sambil sesekali disedot.

(Bersambung)

BERSAMA PERANGI KORUPSI*

Posted on

Korupsi masih menjadi problem utama di Indonesia. Paska reformasi 1998, kuantitas dan kualitas kian meningkat. Pelaku bukan hanya kaum elite, tetapi juga melibatkan “wong alit”. Bulan November 2012 lalu, dua orang perempuan pengurus PNPM di Kec. Panjalu Kab. Ciamis divonis pidana penjara 4 (empat) tahun. Vonis tersebut dijatuhkan setelah keduanya terbukti korupsi dana bergulir senilai Rp.2,3 milyar.

Dalam kejadian serupa, pada bulan Juni 2013 Pengadilan Tipikor Jawa Barat memvonis 2,6 tahun pidana penjara terhadap eks pengurus PNPM Kec.Taraju Kab. Tasikmalaya. Ibu rumah tangga tersebut terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebesar Rp.951 juta. Dua bulan setelahnya (17/9), tiga orang pengurus PNPM Kec.Malangbong Kab. Garut divonis 2,6 tahun penjara setelah terbukti melakukan korupsi senilai Rp.1,1 milyar.

Tiga kasus korupsi diatas sengaja saya tampilkan untuk mengungkap betapa kronisnya tindak pidana korupsi. Dominasi kaum elite telah bergeser. Realisasi dana bantuan sosial (melalui program nasional ataupun daerah) menjadi pembelajaran buruk bagi tumbuhnya ide dan praktek korupsi di masyarakat. Tentunya dalam pelaksanaan yang tidak transparan dan akuntable.

Banyak ahli menyebut negara Indonesia dalam darurat korupsi. Berbagai kasus korupsi yang terjadi di tingkat elite maupun alit telah menempatkan Indonesia pada peringkat 114 dari 177 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi tahun (CPI) 2013. Penanganan perkara korupsi mencapai 1.600 hingga 1.700 perkara per tahun. Kerugian yang ditanggung negara sebesar Rp.168,19 triliun hanya untuk periode 2011-2012.

Pertanyaan kritis pun muncul, bagaimana efektifitas peran dan fungsi lembaga negara dalam pencegahan korupsi?. Pertanyaan ini penting diungkap ditengah banyaknya NGO’s atau ormas yang ikut berkontribusi dalam pengawasan korupsi baik di level nasional, regional hingga lokal. Saat ini, kita tak lagi asing dengan istilah “watch”, “pengawas”, “pemantau”, dan istilah lain yang digunakan lembaga sipil tersebut.

Desentralisasi telah membuka ruang terbuka bagi tumbuhnya partisipasi dan kontrol publik. Faktanya, korupsi kian menggurita di berbagai sektor. Sementara itu, lembaga pemerintah sekelas KPK lebih banyak berperan sebagai penindak. Demikian halnya dengan Lembaga Kejaksaan dan Kepolisian. Dalam konsep fraud control system, mencegah lebih baik daripada menangani.

Dalam hal kampanye, gema anti korupsi di Indonesia akhir-akhir ini semakin menguat. Adanya Hari Anti Korupsi yang diperingat setiap tanggal 9 Desember menambah semarak. Berbagai alat peraga seperti film edukasi, baner, poster, leaflet, stiker dari lembaga penegak hukum, perguruan tinggi, hingga ke tempat ibadahpun banyak yang menyeru untuk bersikap menolak tindak korupsi.

Bahkan, alat peraga kampanye Caleg, cabup, capres atau calon pemimpin politik di tingkat lokal, regional maupun nasional juga dipenuhi dengan kampanye menolak anti korupsi. Klaim bersih, jujur dan anti korupsi masih menjadi kalimat persuasi kepada masyarakat calon pemilih. Dengan simbol-simbol seperti itulah, praktek korupsi tetap menjadi common enemy (musuh bersama).

Telaah Budaya korupsi

Hubungan antara korupsi dengan budaya memang telah menjadir sorotan banyak ahli. Dalam khasanah bahasa Jawa, kita mengenal istilah “konjuk kabekten” yang diartikan perilaku seseorang menunjukan balas budi pada orang yang telah memberi keberuntungan. Contohnya kepada raja, sesepuh yang dalam istilah modern bergeser seperti pemberi proyek, pemberi jabatan dan lain sebagainya.

Saat melakukan “konjuk kabekten” yang dibawa tentunya barang berharga yang diharapkan akan disukai. Disinilah muncul istilah “upeti” yaitu harta terpilih dan istimewa. Bentuknya bisa uang, atau emas, perak dan hewan peliharaan. Dalam khazanah modern benda tersebut berubah menjadi cek, emas, mobil mewah, wanita cantik dan lain sebagainya.

Sebagian orang menyebut korupsi adalah budaya. Sebab, dalam bahasa Jawa juga dikenal istilah “asok glondong pangareng-ngareng”. Istilah ini dulunya untuk menyebut perilaku warga yang menghadap Raja dengan membawa hasil bumi sebagai tanda hormat dan tunduk pada kekuasaan Raja atau pemimpin kerajaan. Dalam khazanah modern, kita mengenal praktek ini contoh ketika ada seorang pejabat tender yang baru di sebuah kementrian, di dinas atau lembaga strategis lain.

Umumnya, rekanan saling bersepakat untuk menggelar pertemuan dalam rangka menghadap pejabat tersebut. Ini hukum tak tertulis yang kemudian menjadi pemicu dan pemacu adanya kolusi dan korupsi. Sebab, secara budaya setiap pejabat tender yang baru juga banyak yang tidak menolak ketika ditemui meski kedoknya basa-basi atau hanya sekedar perkenalan.

Komunikasi seperti itulah yang menyebabkan munculnya niat-niat yang tak seharusnya. Lord Acton menyebut bahwa “power tend to corrupt”. Pernyataan ini untuk menegaskan bahwa setiap orang yang berkuasa selalu berkecenderungan untuk korup. Salah satunya karena keterbukaan komunikasi yang menjadikan pemangku kepentingan dalam hubungan batin yang dekat pula.

Jon ST Quah (2013) menegaskan lima penyebab utama korupsi yaitu; rendahnya gaji, adanya kesempatan, hukuman yang rendah, faktor budaya dan rendahnya dukungan politik. Menurutnya, budaya yang permisivis akan menjadi batu penghambat pencegahan tindak korupsi. Sebab, di dalam pikiran bawah sadar juga tidak ada penentangan.

Hal ini sangat berbeda dengan tradisi atau budaya di negara lain. Ambil contoh di China atau Jepang. Akibat rasa malu karena dituduh terlibat tindak korupsi, tak sedikit pejabat mengundurkan diri atau bahkan bunuh diri. Korupsi tetap dianggap sebagai hal yang memilukan dan memalukan kehidupannya.

Meluasnya Lokus Korupsi

Berbagai tindak korupsi yang tidak hanya merambah di dunia politik, ekonomi dan usaha, birokrasi, tetapi juga sudah merambah ke dunia peradilan seperti dalam kasus Akil Muhtar, eks Ketua Mahkamah Konstitusi, menandakan bahwa lokus korupsi semakin menggurita. Termasuk di lembaga kepolisian dalam kasus Irjen Djoko Susilo yang tersangkut kasus simulator SIM.

Tak cukup itu, bidang yang bersentuhan dengan agamapun telah tercemari dengan korupsi. Siapapun pasti miris dan mengelus dada dengan adanya kasus korupsi pengadaan Al Quran, korupsi biaya nikah di KUA. Tak beda halnya korupsi di dunia pendidikan yang akhir-akhir ini menjadi banyak sorotan karena melibatkan orang cerdik pandai, kaum intelektual dan orang berpendidikan lainya.

Lokus korupsi (tentunya juga kolusi dan nepotisme) telah meluas seiring dengan bertambahnya aktor di berbagai bidang. Hampir semua profesi di negeri ini terwakili oleh oknumnya. Tidak hanya pengusaha, politisi, olahragawan, ekonom, birokrat, penegak hukum, tetapi juga telah melibatkan agamawan agama, pendidik, dan lain sebagainya.

Modusnya pun semakin beragam. Bertemu di luar negeri, di hotel, menggunakan pesan BBM, ketemu darat dan lain sebagainya. Alasan yang digunakan pun beragam seperti untuk pemenangan partai, calon Pilkada, investasi hingga kesenangan semata. Tak aneh bila istilah juga semakin kreatif, seperti apel malang, apel washington, fustun, salam putih, arbain milliar cash, dan lain sebagainya.

Belajar dari ribuan kasus yang sudah terungkap dan terselesaikan, sudah saatnya dibuat telaah kritis menyangkut lokus terjadinya korupsi. Telaah tersebut akan memudahkan publik mengenali, mengantisipasi dan ikut menangani bila terjadi tindak korupsi. Publik perlu mengetahui titik kritis terjadinya korupsi dari akar sampai ujung berdasarkan praktek nyata yang terjadi.

Menumbuhkan kejujuran

Publik mengapresiasi progresifitas KPK dalam penindakan kasus korupsi dengan operasi tangkap tangan. Begitu halnya dengan Kejaksanaan dan lembaga penegak hukum lain meski dinilai kalah dibanding KPK. Akan tetapi, faktanya kita sering dihadapkan pertanyaan awam bagaimanakah cara efektif memberantas korupsi.

Inilah hal menarik yang perlu dibahas oleh siapapun. Sebab, spirit pencegahan harus ditumbuhkan agar energi penegak hukum tidak tersedot habis untuk menangani. Dalam dunia kebencanaan, kita mengenal istilah mitigasi sebagai upaya preventif yang dilakukan secara simultan dan menyeluruh untuk menghindari dan meminimalisir terjadinya resiko.

Begitu halnya dalam pencegahan korupsi. Sesungguhnya sudah dikenal istilah fraud control system. Sebuah sistem yang oleh Ketua BPK Hadi Purnomo dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (21/11/2013) diartikan sebagai upaya sistematis guna menutup lubang-lubang adanya kesempatan KKN melalui monitoring yang kuat.

Dengan upaya penutupan kesempatan tersebut, persoalannya tinggal satu yaitu niat. Dimanapun tempatnya dan siapapun orangnya berpotensi punya niat korupsi. Utamanya yang memiliki akses kekuasaan baik dalam hal politik, ekonomi, agama atau aspek lainnya. Niat secara personal harus diantisipasi dengan penguatan pentingnya edukasi dan praktek kejujuran.

Salah satu praktek kejujuran yang efektif adalah di lembaga pendidikan mulai tingkat dasar, menengah hingga perguruan tinggi. Sudah seharusnya ada kurikulum tentang kejujuran yang menjadi pengamatan keseharian karakter anak didik maupun pendidik. Sekolah tak melulu mengajarkan kepandaian otak, tetapi juga bertumpu pada pengembangan karakter jujur.

Sangat perlu skor kejujuran anak didik maupun pendidik terpantau dalam instumen pengujian. Apakah melalui ujian tertulis seperti UN, atau pengamatan perilaku. Jika sejak usia dini telah dibangun moralitas jujur, dalam pikiran alam bawah sadar tentu akan segan melakukan tindak korupsi.

Kasus korupsi yang menimpa Rubi Rubiandini yang notabene Guru Besar Kampus Kenamaan dan pernah menyabet gelar teladan menjadi preseden buruk terhadap model pembelajaran di lembaga pendidikan. Kita tahu bahwa kejujuran belum dianggap sebagai sebuah pembelajaran khusus sehingga tidak menjadi mata pelajaran khusus.

 

 

Upaya Pencegahan Dini

Saat ini telah dikembangkan berbagai metode guna mencegah tindak korupsi. Metode ini juga dikembangkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagai lembaga negara yang menjunjung tinggi independensi, integritas dan profesionalime. Upaya pencegahan yang umum dikenal dengan istilah Fraud Control System telah diinisiasi dan terus didorong oleh BPK.

Atas kewenangannya, BPK berhak mengakses informasi seluruh pengelola keuangan negara khususnya yang telah mengembangkan sistem informasi dengan dana APBN/APBD. Adanya data yang bersifat terpadu dan elektronik, diharapkan akan memudahkan audit yang disebut electronic audit. Hal ini mengefektifkan langkah penelusuran untuk mengetahui matching tidaknya data.

Pada lokus korupsi bermodus perjalanan dinas di birokrasi misalnya, dengan sistem informasi terpadu ini akan memudahkan telaah audit tanpa harus melakukan fieldwork audit. Selain mudah, hal ini memudahkan pengamatan dalam upaya pencegahan dini.  Praktek ini cukup maju akan tetapi belum menjawab persoalan seutuhnya.

Misi BPK untuk memberikan jaminan “Wajar Tanpa Pengecualian” pada pengelolaan keuangan negara melalui e-audit memang patut diapresiasi. Sebagai deteksi awal hal ini memang akan memudahkan telaah modus, lokus berikut aktornya. Selain efisien dan efektif, model pencegahan ini memberi meminimalisir konflik antara auditor dan auditee (orang atau lembaga yang diaudit).

Perlu dicatat bahwa modus kejahatan (termasuk korupsi) selalu selangkah lebih maju dibanding sistem pengawasan dan pencegahan itu sendiri. Sebagai contoh, korupsi bermodus perjalanan dinas. Sampai saat ini, birokrat yang menitip SPPD tanpa menjalani langsung, atau mengurangi volume kunjungan yang bersilisih dengan laporan masih terjadi.

Jika hanya mendasar pelaporan meski telah bersifat elektronik, ada kemungkinan sebagian pelaku juga akan terlatih mengakali laporan supaya “terkesan” akuntable. Pemenuhan beberapa item seperti yang dimintakan sistem elektronik tetap berkemungkinan direkayasa dengan berbagai kecanggihan modus baru.

Untuk itu yang lebih menarik untuk dikembangkan adalah pengawasan berbasis masyarakat. Untuk itulah dibutuhkan keterbukaan informasi yang simultan dan berketerusan dari pengelola keuangan negara. Lahirnya UU No.14 Tentang Keterbukaan Informasi Publik sangat mendukung terhadap tumbuhnya pengawasan masyarakat terhadap indikasi dan potensi korupsi khususnya di birokrasi.

BPK memang telah memiliki kontak pengaduan. Akan tetapi belum dikenal luas sehingga dari jumlah populasi maupun persebaran pengadunya belum optimal. Dibutuhkan, jejaring informasi antar masyarakat luas melalui kampanye yang berketerusan menyangkut metode masyarakat dalam mengenali dan melaporkan pengaduannya.

Pentingnya indepensi

Independensi merupakan faktor utama tercapaianya profesionalitas. Keduanya menjadi bagian tak terpisah. Untuk itu, demi terjaganya tersebut dibutuhkan sosok anggota BPK yang steril dari kepentingan politik. Bagaimanapun, anggota yang berlatar belakang parpol atau memiliki koneksi dengan politik, memberi kemungkinan terhadap menurunya independensi.

Dalam budaya Jawa masih ada istilah “ewuh pakewuh” yaitu sikap segan dalam melakukan sesuatu yang berakibat pengurangan misi seutuhnya. Dalam tugas audit, sikap ini sangat membahayakan karena tidak obyektif. Karena adanya “ewuh pakewuh” akhirnya ada hal-hal yang ditutup-tutupi, direkayasa atau bentuk upaya lain yang justru bertolakbelakang dengan prinsip profesionalisme.

Munculnya tuduhan sebagian publik terhadap lambannya penanganan (audit) terhadap berbagai kasus seperti Hambalang, Century dan kasus lain karena dugaan melibatkan pejabat penting di negeri ini harus menjadi bahan instrospeksi institusi BPK agar meningkatkan profesionalisme tanpa harus melihat siapa, berlatarelakang apa dan kepentingannya apa.

BPK adalah lembaga negara yang paling strategis untuk melakukan pencegahan. Oleh karena itu, harus bekerja secara menyeluruh dalam pencegahan korupsi. Ditengah banyaknya kasus korupsi, sudah saatnya BPK ambil bagian terdepan dengan mendorong masyarakat mengetahui bahaya korupsi bagi keberlangsungan negara ke depannya.

 

*Ali Yasin

Peminat Perubahan Sosial

Tinggal di sidoarjo