Angkringan sebagai budaya tanding

Posted on

Angkringan adalah sebutan populer warung khas Jogja. Hampir serupa, kalau di daerah Solo dan Klaten disebutnya warung HIK yang konon plesetan dari hidangan istimewa ala kampung. Angkringan selalu memiliki ciri khas. Pertama, sajian makannanya di atas gerobak dorong beratap terpal plastik. Di sekelilingnya terdapat bangku kayu berukuran tinggi untuk menyesuaikan duduk pembeli dengan meja gerobak tempat makan.

Berikutnya, di bagian kanan meja terdapat tungku pembakaran. Biasanya terdapat dua atau tiga lubang dengan arang terbakar di bawahnya. Selain untuk memanasi air, fungsinya juga bisa untuk memenuhi keinginan pembeli apabila ingin membakar sate usus, ceker dan, jahe bakar lain sebagainya.

Citi ketiga yang paling khas adalah sajian nasi berbungkus kecil seukuran kepalan tangan anak kecil. Umumnya berlauk teri. Tapi banyak juga berlauk tempe atau pindang.  Itulah yang disebut sego kucing. Dalam tradisi guyon, disebut sego kucing  karena ukuran berikut lauknya lebih cocok untuk kucing. Tentu kita merasa aneh pula pada awalnya mendapati nasi berukuran kecil itu.

Nah, untuk memeriahkan lidah saat menyantap sego kucing di angkringan selalu tersedia aneka lauk. Letaknya tersaji persis di depan mata, berjejer dalam nampan dan tentunya siap disaut untuk disantap. Aneka lauk seperti telur puyuh, tempe bacem, ceker ayam, dan aneka sate seperti usus, ati ampela dan lain sebagainya.

Paket minuman yang disediakan pun khas. Biasanya teh, wedang jeruk, lemon tea (perpaduan teh dan jeruk), wedang jahe, kopi, kopi jahe. Kalaupun ada minuman tambahan biasanya yang bersifat instant. Gelas yang digunakan umumnya berukuran besar dan pilihannya hanya itu. Jarang dijumpai menggunakan cangkir atau gelas kecil.

Di malam hari, warung angkringan biasanya menggunakan lampu ublik. Lampu berbahan bakar minyak tanah ini menyuguhkan cahaya temaram dan justru inilah yang memberi kesan syahdu dan hangat. Karena hanya tersedia dua –tiga banguku duduk, posisi pembeli hampir selalu berdempetan ketika ramai. Sambil mengelilingi aneka lauk, pengunjung seperti berkompetisi untuk mengambil menu yang disuka.

Selain harganya yang relatif murah, suasana seperti itulah yang disukai pembeli.Ada percakapan hangat antara satu pembeli dengan lainnya. Bahkan seperti tak sekat, karena di warung angkringan tidak ada istilah satu pembeli satu bangku atau satu kursi. Semunya berhimpitan dan berdesakan dengan harmoninya. Tanda ungkapan persamaan nasib yang diistilahkan berdiri sama tinggi, duduk sama rendah.

Angkringan adalah memang warung tradisional biasa. Tetapi “ngangkring” adalah budaya karena melibatkan banyak individu dalam waktu lama dalam ikataan perilaku yang relatif sama. Tentang duduknya, tentang minat terhadap makanannya, suasana ataupun kejiawannya. Tak hanya untuk urusan perut (biologis), “ngankring” menjadi media pertemuan sosial.

Tak jarang, bagi mereka yang sering ke warung angkringan, ditanya temannya sudah “ngangkring” atau belum. Istilah “ngangkring” telah menjadi suku kata interaksi sosial. Karena sifatnya untuk bertemu darat, “ngangkring” akan menandakan karakter seseorang. Bagi mereka yang individualis, kuper (kurang pergaulan) atau tidak suka berinteraksi sosial, tentu sulit untuk mengikuti budaya angkring.

Nah, “ngangkring” inilah yang saya sebut budaya tanding. Ditengah menjamurnya warung modern khususnya franchise restoran asing, yang tentu membawa karakter asing, ternyata warung angkringan menjadi lawan yang tak kalah hebatnya. Sebab, lebih menyuguhkan karakter asli orang indonesia.

Interaksi, gaya, sikap dan keluwesan di warung angkringan tentu tidak didapat di restoran asing. Meski pembeli sama-sama duduk di satu tempat, dan berulang-ulang sehingga sudah saling kenal tentu tak akan muncul pertanyaan sudah MacD belum, sudah PizaaHut belum, sudah CFC belum dan lain sebagainya.

Angkringan telah membentuk budaya solider pembelinya. Nah, bisa dibudayakan lebih massif bukan tidak mungkin efektif untuk mengurangi kesenjangan sosial yang terjadi ditengah masyarakat sebagai akibat menjamurnya budaya individualis di negeri ini. Kita juga bisa membayangkan, jika pemimpin negeri ini solider, memimiliki persamaan nasib dengan rakyatnya, tentu akan memudahkan mereka membangun bangsa tanpa korupsi.

Angkringan adalah lokus pengembangan budaya yang menunggulkan kebersamaan. Sebab, dengan interaksi “ngangkring” setiap kita akan mengerti betapa pentingya orang lain. Disitulah pula kita belajar perlunya harmonis, keberagaman, perbedaan, dan penghargaan untuk kehidupan sosial yang tertata.

Saat ini warung angkringan telah bertebaran di berbagai Kota. Tak hanya Jogja, Solo dan sekitarnya kini dapat dijumpai di Surabaya, Bandung, Bekasi dan kota lain dalam jumlah yang terus bertambah. Tetapi, ini bukan semata-mata persoalan warungnya, lebih kepada budaya “angkring” yang secara positif bisa menguatkan kerekatan sosial

Leave a comment