Tumpah tindah program Pemberdayaan

Posted on

Istilah empowering, strengthening, development dalam pembangunan masyarakat paska reformasi 1998 semakin marak. Indonesia tergolong negara yang latah menggunakan istilah itu. Atas nama pengurangan dan penanggulangan kemiskinan, berbagai program melekatkan istilah keren tersebut. Tak hanya di oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, kabupaten bahkan desa pun ikut-ikutan mengadopsi.

Seakan sepakat, pemberdayaan disebut sebagai pola yang tepat menyelesaikan persoalan kemiskinan. Dalam paradigma pemberdayaan, masyarakat diposisikan sebagai subyek penentu dalam perencanaan dan penetapan keputusan. Mereka diberi ruang yang cukup untuk mengerti atas persoalan sekaligus cara menjawabnya. Pemberdayaan dimulai dari, oleh dan untuk mereka.

Atas paradigma itulah, pemerintah membuka kran lebar terhadap masuknya program asing. Bukan hanya yang berskema hibah, yang menggunakan pola pinjaman pun juga diambil. Di berbagai kementrian sejak tahun 1998 bermunculan aneka program dengan aneka istilah. Di satu kementrian bahkan terdapat lebih dari 5 program unggulan. Antara satu direktorat dengan yang lain saling berebut peran.

Sementara itu, prinsip lintas sektor juga diintroduksikan. Gaya pembangunan egosektoral seperti pada jaman Orde Baru mulai ditinggalkan. Namun, dalam 15 tahun evaluasi gaya implementasi program pemberdayaan paska reformasi tahun 1998 menunjukan gambaran buram. Pertama, tetap saja egosektoral antar kementrian, antar direktorat, antar lembaga, hingga antar provinsi, kabupaten dan desa tetap kuat.

Banyak kegiatan pembangunan yang belum tersinergikan. Ambil contoh, program peningkatan kesehatan yang dilaksanakan oleh Kementrian Dalam Negeri misal dalam program PNPM Generasi Sehat dan Cerdas, apakah sudah terintegrasi dengan program yang dikawal oleh kementrian kesehatan? Sama halnyap program pembangunan infrastruktur yang dilakukan di PNPM Mandiri Perdesaan, apakah sudah koordinatif dengan Kementrian PU atau dibawahnya.

Dalam pengamatan di lapangan, terlihat adanya ego sektor dimana masing-masing program ingin berjalan sendiri-sendiri. Meskipun tujuan dan sasarannya sama. Dari pihak pengelola program (leading sector) seperti tak ingin kehilangan pengakuan dari prakarsa maupun keberhasilan pelaksanaan.

Maka bisa kita saksikan banyak program yang telah tumpah tindih. Antara yang satu dengan yang lain seakan berlomba padahal dalam sasaran yang sama. Ambil contoh sederhana program PNPM Perdesaan dan GSC (Kemendagri) dan PPIP (Kemen PU), dengan program provinsi Jawa Barat seperti Raksa Desa, Pembangunan Infrastruktur Desa, Desa Mandiri Peradaban, dan lain sebagainya.

RPJM Nasional belum menjadi kerangka acuan RPJM provinsi, kabupaten dan Desa. Wajar jika angka kemiskinan di negeri ini naik-turun di angka yang relatif sama. Hasil kinerja program seperti jalan ditempat. Tumpang tindih menjadi persoalan yang tak terselesaikan karena pihak berkepentingan kurang beritikad untuk duduk bersama menyamakan persepsi. Semua bermuara pada adanya ego pribadi atau institusi.

Mengambil sila ketiga Pancasila yaitu Persatuan Indonesia, harusnya pemimpin atau pengelola program baik ditingkat pusat, provinsi, kabupatan/kota ataupun desa harus melakukan refleksi. Pertama, mengurangi gaya pelaksanaan program yang masih kental egosektoral. Kedua, mengurangi atau menghentikan program yang justru memicu keretakan sosial atau persatuan masyarakat.

Satu hal yang harus dicatat, ditengah gencarnya realisasi program pemberdayaan atau sejenisnya, masyarakat baik di desa ataupun kota telah pada titik jenuh. Sebagain besar mereka sekarang tak lagi bersemangat untuk berswadaya, peduli dan ambil bagian dalam proses. Bahkan, mereka mulai membanding-bandingkan antara program satu dengan yang lain. Persoalannya, yang dibandingkan adalah potensi keuntungan materi jika melaksanakan program tersebut.

Akhir tahun 2013 menjadi saat yang tepat bagi pemerintah di level manapun, untuk melakukan refleksi mendasar agar di tahun 2014 tidak terjadi pelaksanaan program yang tumpang tindih. Memang tidak mungkin dalam waktu cepat, tetapi dimulai dari atas dulu agar bisa ditiru dan dicontoh oleh pemerintah daerah. Yang pasti dengan mengurangi tumpang tindih program, kemanfaatan program untuk masyarakat semakin terlihat.

Leave a comment