Krupuk Pak Waji; Tanda Kasih Ibu

Posted on

Pak waji,almarmhum, adalah tetanggaku. Cukup dekat karena rumahku dengannya hanya dipisah jalan. Lebarnya sekitar 3 mtr. Jadi cukup dekat. Sehari-hari beliau berjualan krupuk. Dengan sepeda ontel dia biasa berkeliling  menjajakan krupuk. Jualannya bukan desaku, atau desa tetangga, tetapi desa nun jauh di sekitar kecamatan maospati.

Cerita bermula saat aku msh sekolah SD. Tak kuingat pasti sejak kelas berapa. Yang pasti sejak kecil aku telah menikmati krupuk gurih pak waji. Ibu tercintalah yg sering mendatangi rumah pak waji. Apalagi, kalau bukan utk beli krupuk untuk lauk makan.

Selain rambak, tersedia pula opak asin. Opak adalah sebutan lain krupuk di kampungku, dusun lemi desa jajar,kartoharjo, magetan. Ibu sering bertanya padaku” mau opak rambak atau asin?”. Begitulah. Hampir tiap hari, khususnya wkt sarapan, selalu tersedia krupuk sbg lauk utama. Karena ketagihan, aku sering ngambek makan bila tak ada krupuk.

Aku tak menyebut hidup kala itu susah. Memang keluargaku tak cukup berharta. Sawah tak punya. Ladang juga. Peliharaan sejenis kerbau, sapi juga tak punya. Nyaris penghasilan tak menentu. Bapak bekerja di Jakarta sebagai kuli bangunan. Pulang sesekali saja. Pernah juga merantau ke Kalimantan. Tapi akhirnya pulang juga karena tak cukup berhasil.

Sehari-hari, untuk menghemat biasanya aku dan ibu makan berlauk seadanya. Kadang cukup dengan sambal korek. Cabe mentah yang diulek diatas layah dicampur bawang. Praktis dan pedes. Jika kepedesan, ibu sering bilang “biar cepet gede nak!”.

Makan nasi sambal paling enak berlauk krupuk. Bagiku, bisa makan krupuk sudah alhamdulillaah. Selain murah, suasana jadi ramai. Sebab, ketika krupuk dikunyah selalu ada suara kriuk kriuk. Ibu bekerja serabutan. Kadang jadi buruh tandur,matun, bikin batu bata, kadang jahit, dsb). Disitulah aku jadi paham.

Ya, tentang hidup yg tak harus dimanjakan situasi. Tentang kesederhanaan. Tentang sikap sabar dan sadar diri. Juga tentang falsafah hidup lain yang baru kupetik saat ini. Kesetiaan ibu membelikan krupuk di rumah pak waji selalu mengingatkaku. Ia adalah sepenggal kisah cinta ibu padaku. Anak semata wayangnya.

Mungkin tak menarik bagi orang lain, sebab semua orang hampir bisa beli krupuk. Tapi tidak bagiku. Krupuk tetaplah bagian terindah dari sekian lauk. Wajar jika sampai sekarang aku hobi makan  krupuk. Dan dengan itulah aku bersyukur. Karena dengan makan krupuk aku selalu mengingat kasih almarhumah ibu meski harus menetes air mata.

Siapa yang tak menangis ketika ibu tercinta dimakamkan tanpa kekutehaui jasadnya. Saat itu, aku yang masih kuliah di jember, tak cukup waktu karena jauhnya perjalanan. Setelah dinanti 8 jam tak kunjung tiba, jenasah ibu dimakamkan tanpa aku mengantarnya di liang kubur…

Terima kasih ya Allah, engkau cintakan aku pada krupuk yang membuatku selalu ingin berdoa “Allaahumagfirllaaha warhamha waafihi wa’fuanha…”

Leave a comment