Latest Event Updates

guru bernama tv

Posted on

Entah persisnya mulai kapan, 75% media elektronik khususnya Televisi pada berlomba menyajikan tayangan hiburan. Mulai dari sebar gosip, yang tayang pagi, siang dan sore sampai dengan hiburan musik. Durasi tayangnya pun relatif lama. Ada yang 1 jam, ada pula yang 2 jam penuh.

Pagi ketika bersiap kerja, kita sudah disuguhi berita gosip dengan presenter nan cantik dan selalu bikin penasaran jika memberitakan gosip terbaru artis. Tak lama setelah itu, tayangan beralih ke pentas musik live. Tak cukup satu channel, channel lain pun menayangkan hal serupa.

Satu pemandangan melankolis dari tayangan musik tersebut, adalah banyaknya penonton di lokasi yang berusia relatif muda. Ibu-ibu dan bapakpun ada tapi kalah dominan. Mereka tampak larut dalam setiap lagu yang dipentaskan. Tubuh yang bergerak disertai lambaian tangan dan siulan sorak sorai, menandakan betapa mereka merasa bahagia hadir diacara tersebut.

Ya, pagi yang menjadi kesempatan berharga untuk memacu semangat bekerja, oleh sebagian anak-anak muda yang kemudian disebut alay, justru terhabiskan di depan panggung hiburan. Yang pasti mereka datang tidak satu kali, bahkan ada beberapa yang sudah berbulan-bulan menjadi penonton setia di lokasi tersebut.

Pada awalnya konon ada yang mengorganisir. Namun selanjutnya dikabarkan mereka membentuk komunitas dan solidaritas sendiri. Komunitas inilah yang menjadi penggerak keterlibatan mereka di setiap even yang digelar. Oleh karenanya setiap even hiburan yagn digelar media Televisi seperti tak pernah kehabisan penonton. Sekalipun keadaannya panas terik atau hujan. Ada tanda bahwa komunitas tersebut telah “kecanduan hiburan”.

Hal inilah yang semestinya disadari sepenuhnya oleh media penyelenggara hiburan. Meskipun hal tersebut pilihan bebas alias suka-suka sesuai izin hak siar yang dimiliki, atau katakanlah sesuai permintaan atau respon pasar, namun dalam konteks pembangunan karakter generasi bangsa harusnya dipikirkan juga “dampak negatif” yang ditimbulkan.

Ditengah carut-marutnya persoalan bangsa yang ditimpulkan oleh kekacauan urusan politik dan lainnya, hiburan memang menjadi alternatif. Namun tentu pada batas yang wajar. Sebab, sifat hiburan adalah untuk relaksasi atau penguatan kembali semangat yang menurun. Dalam hal ini adalah semangat untuk memajukan bangsa dari keterpurukan.

Rasio hutang luar negeri kita sudah tak terbayang. Ada sindiran yang menyebutkan jika setiap bayi yang lahir di bumi Indonesia menanggung hutang Rp.5 juta. Hal itu sebagai kalkulasi tingkat hutang dengan kemampuan bayar pemerintah. Dari tahun ke tahun kondisinya tak membaik bahkan cenderung terpuruk.

Maka keadaan inilah yang harusnya dijadikan pertimbangan utama pelaku media. Ketika menayangkan acara hiburan taruhlah tayangan musik live yang lagi ngetrend, seharusnya selalu dalam batas wajar sehingga tidak melenakan. Syukur-syukur menyelipkan edukasi sosial-budaya dan aspek lain yang berharga bagi pembentukan karakter generasi. Akan sangat efektif jika mengemas pembelajaran generasi dengan hiburan.

Bagaimanapun, hiburan merupakan bagian penting dari edukasi generasi, bukan sesuatu yang terpisah sehingga seperti tak memiliki kandungan nilai positif bagi penonton yang menyimaknya.  Oleh karenanya harus ditata dan dikelola secara rapi. Bukan sekedar aspek emosi/rasa saja yang dihadirkan sehingga hanya persoalan senang tidak senang, atau terhibur tidak terhibur.

Banyaknya penonton/penggemar acara hiburan pada usia muda yang notabene usia produktif untuk berkarya, sungguh sangat memprihatinkan jika akhirnya menjadi salah satu sebab melemahnya kualitas dan daya saing anak bangsa negeri ini. Dalam bahasa ekstrim seorang teman kepada komunitas ini, “seperti gak ada pekerjaan lain yang bermanfaata saja”.

Ya, negeri ini butuh kepedulian. Hiburan yang disajikan oleh media akan sangat indah jika selalu diselipi edukasi berharga khususnya bagi pembentukan karakter positif seperti semangat kerja, tidak malas, tidak suka mengeluh, dan lain sebagainya. Kalo kemudian acara-acara tersebut justru menjadi sarana penyalur kemalasan anak-anak muda, pastikan bahwa kita ikut berdosa membiarkan sesuatu yang tak baik bagi pembangunan generasi bangsa kedepannya.

 

dscf1955-copy.jpg

Image Posted on

di kebun teh ciater

Haruskah kita outsourcingkan pemimpin negeri ini?

Posted on Updated on

DSCF1444 - CopyMusibah apalagi yang menimpa negeri kita. Belum habis kita tercengang dengan penangkapan LHI atas dugaan suap impor daging, tak lama setelah kita dikagetkan dengan penangkapan Irjen Djoko Susilo, jendral yang memilik harta milyaran rupiah. Baru-baru ini, jantung kita hampir copot setelah KPK menangkap basah Akil Mochtar, Ketua MK.

Percaya gak percaya, tapi itu nyata. Yang pertama, seorang Presiden Partai yang dikenal Bersih. Yang kedua adalah jendral yang dikenal tidak bermasalah. Yang ketiga, lebih spektakuler lagi karena seorang hakim yang disebut wakil tuhan di muka bumi. Ditengah derasnya arus pemberitaan, pikiran kita seperti dipaksa mengamini bahwa negara sedang sakit.

Negara asing menyorot tajam. Presiden menggelar jumpa pers. Perpu atau perangkat hukum tengah disiapkan. Pakar banyak komentar. Terjadi silang pendapat. Demo masyarakat terjadi. Tak sedikit kaum opportunis yang memanfaatkan kekacauan ini. Meragukan bahkan mendislegitimasi hasil putusan MK.
Masing-masing pihak merasa paling benar. Saksi, Majelis kehormata, pengamat hukum, ahli tata negara, mantan jaksa, mantan cabup, cagub yang kalah ikut berbicara. Hasilnya, masyarakat dibuat bingung, bingung dan bingung. Siapa memainkan siapa, siapa mencari untung siapa, atau dalam bahasa politiknya; siapa dapat apa.

Pemimpin tak dianuti
Maaf jika tulisan ini, menambah bingung pikiran anda. Saya hanya berniat untuk berbagi refleksi. Pada awal tulisan tadi, saya mengilustrasikan tiga orang dengan kapasitas berbeda. Ketua Parpol, petinggi Polri dan satunya lagi hakim konstitusi. Saya yakin anda sepakat bahwa ketiganya merupakan pemimpin. Setidaknya pejabat teras yang mempengaruhi banyak urusan di negeri ini.

Refeksi saya dari sebuah hadist Nabi Muhammad. “jika sebuah urusan dipercayakan pada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu”. Saya mendefinisikan subyektif, pada saat ini negara kita bangkrut. Utang luar negeri bejibun, korupsi bertebaran tak kenal henti, kriminalitas menggila, stress dan depresi mewabah.

Banyak orang gundah, bingung atas ketidaknyamanan yang dialami. Entah alasan ekonomi, hukum, politik, atau kemasyarakatan. Wajah murah senyum, sopan santun, tata krama, menghormati, dan budaya lain yang sering disebutnya adat ketimuran, semakin sulit ditemui. Di jalan, di kantor, di rumah sekarang ini dikagetkan dengan adegan tak logis.

Pembunuhan, bunuh diri, tawuran, pelarian dan ketidakstabilan kehidupan individu maupun masyarakat semakin beranak pinak. Masyarakat kita sedang sakit karena individu-individunya memang sakit. Bergerak sendiri, dengan tindakan yang tak rasional. Di Bandung, seorang pria membunuh ibu pemilik rumah setelah kepergok mencuri tabung gas elpiji. Di jakarta, penumpas bus disiram air keras.

Banyak individu yang kehilangan jati diri. Sementara itu, mereka kehilangan sosok yang diikuti. Sosok yang dipatuhi atau setidaknya disegani. Artis, Polisi, ahli agama, pemimpin parpol, menteri bahkan presiden semakin tak dipercaya. Sebagian masyarakat berpikir dan bergerak sendiri. Undang-Undang, norma, aturan adat tak dihiraukan. Ada yang melawan frontal, tapi pula yang melawan halus.

Outsourcing sebagai pilihan
Semua itu bermula dari lemahnya kepemimpinan. Di tengah masyarakat muncul distrust. Pemimpin yang sebelumnya dibayangkan seperti dewa, ternyata durjana. Wajah ramah, murah senyum, pendidikan tinggi, gelar agama tinggi, ringan membantu orang, ternyata masih korupsi, berselingkuh, menebar suap dan tindakan tak patut lainnya.

Inilah titik dimana saya menyimpulkan. Lima belas tahun kita menjalankan reformasi, apakah hasil sementaranya seperti ini?. Semoga bukan apriori, tetapi lima belas tahun bukan masa yang pendek. Bayangan kita pada tahun 1998, dengan reformasi, otonomi, keterbukaan informasi, demokrasi , hak asasi ataupun jargon lain adalah untuk mensejahterakan masyarakat.

Salah satunya untuk mendaulat kepemimpinan efektif, dipercaya dan berdaya guna. Setiap pilkada, pilgub, pileg, bahkan pilpres selalu tersirat dihati akan munculnya sosok pemimpin penyelesai masalah. Tapi apa dikata, tiga kali berganti rezim, negara ini tampaknya kian terseok. Produk impor membanjiri, produsen dalam negeri terlemahkan.

Petani menjerit, pedagang menangis, PKL digusur, sementara itu busung lapar dan gizi buruk masih terjadi dan yang paling tragis semakin banyak anak negeri yang melarikan diri keluarga negeri untuk mencari sesuap nasi. Apalagi kalau bukan dengan menjadi TKI/TKW yang sebagian suguhan ceritanya selalu mengenaskan. Kalo gak diburuk, dipenjara, disiksa, diperdaya, atau bahkan dihukum pancung.

Negara semakin kehilangan wibawa. Pemimpin hanya dianggap nama. Peran diabaiakan. Semua karena tidak adanya keteladanan. Pemimpin yang mestinya bersih duluan, malah kotor duluan. Pemimpin yang harusnya bersahaja dan sederhana, malah bergelimang harta. Pemimpin yang harusnya bekerja keras, malah kerja dan liburan santai.

Keteladanan sebagai kata kunci
Disinilah muncul tanya besar. Di tengah berkecamuknya protes, ketidakpuasan masyarakat terhadap berbagai model kepemimpinan, entah karena penunjukan, karena pemilihan dan media lain, tampaknya kita perlu berfikir, mungkinkah kita outsourcingkan kepemimpinan di negeri ini? Kita percayakan pada bangsa yang terkenal jujur, tidak korup dan mau bekerja keras. Ambil contoh bangsa jepang.

Tentu bukan maksud untuk penjajahan. Tetapi bagiamana kita menghadirkan pemimpin yang bisa memberi keteladanan nyata. Setelah kepercayaan masyarakat tercipta lagi, kita bisa mengangkat kembali pemimpin dari negeri sendiri. Tentu sistem outsourcingnya kontrak. Dengan begitu kita bisa evaluasi plus minusnya.
DSCF1444 - Copy
Yang pasti ketidakpercayaan terhadap pemimpin di negeri ini akan sulit dipulihkan. Outsourcing sebagai jalan singkat untuk memulihkan itu. Kita perlu mencoba di ambang kegagalan negara ini. Tak usah takut, karena kita harus mencoba.

Kejujuran itu Gak PENTING

Posted on

Pagi tadi (Selasa, 25 Juni 2013) ada 2 kejadian yang cukup menginspirasi tentang budaya masyarakat Indonesia di masa kini. Pertama, sekitar pukul 05.00 WIB. Ceritanya, saat diantar istri ke Bandara Juanda Surabaya, kami melewati petugas parkir Bandara .Tertulis jelas tarif masuk sepeda motor sebesar Rp.1500,-. Setelah kusodori uang kertas Rp.2000,-, seperti yang kuduga sebelumnya, uang kembalian Rp.500,- tak dikembalikan oleh petugas. Masih kuingat wajah tak berdosanya.

Read the rest of this entry »

Masa depan;bukan ditentukan ijazah?

Posted on

Tahun 2003, selepas wisuda di bulan november terselip bingung di pikiranku. Mencari kerja yang cocok berbekal ijazah sarjana sejarah. Berbagai berita lowonganpun kuakses. Koran, tentu rajin kubuka setiap hari sabtu yang memang menjadi hari nasional pengumuman lowongan. Tak hanya koran lokal seperti radar jember ataupun Jawa Pos, tapi koran nasional sekelas Kompaspun tak kulewatkan.

Read the rest of this entry »

Mempraktekan Hidup Prasojo-Sakmadyo

Posted on Updated on

Prasojo adalah istilah Jawa. Ia memiliki arti yaitu sederhana. Hampir serupa dengan kata ini adalah sakmadyo yang berarti secukupnya atau sepantasnya. Prasojo dan sakmadyo adalah kosakata yang biasa dijadikan pitutur atau nasehat untuk sebuah laku (pilihan sikap) dalam menjalani kehidupan.

Read the rest of this entry »

Sabar itu Juara

Posted on Updated on

Kebebasan berpendapat dan bersikap menjadi bagian dari demokratisasi. Pun halnya dalam dunia pendidikan. Sekolah sebagai institusi, tak lagi bisa close terhadap apa-apa yang diberlakukan. Tak ada lagi istilah rahasia atau ditutup-tutupi.

Read the rest of this entry »

Menyederhanakan Impian= menyederhanakan penderitaan

Posted on Updated on

Boleh saja anda tidak bersepakat dengan judul diatas dengan bersikeras, “bukankah mimpi itu sumber motivasi, dan motivasi dasar penggerak tindakan menuju sukses?”. Bagaimana bila seseorang tak bermimpi sukses, lalu ia bisa sukses? Rasanya musykil wal mustahil. Atau dalam adagium yang lain, bermimpi sederhana ya dapatnya pasti yang sederhana. Titik.

Read the rest of this entry »