BERSAMA PERANGI KORUPSI*

Posted on

Korupsi masih menjadi problem utama di Indonesia. Paska reformasi 1998, kuantitas dan kualitas kian meningkat. Pelaku bukan hanya kaum elite, tetapi juga melibatkan “wong alit”. Bulan November 2012 lalu, dua orang perempuan pengurus PNPM di Kec. Panjalu Kab. Ciamis divonis pidana penjara 4 (empat) tahun. Vonis tersebut dijatuhkan setelah keduanya terbukti korupsi dana bergulir senilai Rp.2,3 milyar.

Dalam kejadian serupa, pada bulan Juni 2013 Pengadilan Tipikor Jawa Barat memvonis 2,6 tahun pidana penjara terhadap eks pengurus PNPM Kec.Taraju Kab. Tasikmalaya. Ibu rumah tangga tersebut terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebesar Rp.951 juta. Dua bulan setelahnya (17/9), tiga orang pengurus PNPM Kec.Malangbong Kab. Garut divonis 2,6 tahun penjara setelah terbukti melakukan korupsi senilai Rp.1,1 milyar.

Tiga kasus korupsi diatas sengaja saya tampilkan untuk mengungkap betapa kronisnya tindak pidana korupsi. Dominasi kaum elite telah bergeser. Realisasi dana bantuan sosial (melalui program nasional ataupun daerah) menjadi pembelajaran buruk bagi tumbuhnya ide dan praktek korupsi di masyarakat. Tentunya dalam pelaksanaan yang tidak transparan dan akuntable.

Banyak ahli menyebut negara Indonesia dalam darurat korupsi. Berbagai kasus korupsi yang terjadi di tingkat elite maupun alit telah menempatkan Indonesia pada peringkat 114 dari 177 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi tahun (CPI) 2013. Penanganan perkara korupsi mencapai 1.600 hingga 1.700 perkara per tahun. Kerugian yang ditanggung negara sebesar Rp.168,19 triliun hanya untuk periode 2011-2012.

Pertanyaan kritis pun muncul, bagaimana efektifitas peran dan fungsi lembaga negara dalam pencegahan korupsi?. Pertanyaan ini penting diungkap ditengah banyaknya NGO’s atau ormas yang ikut berkontribusi dalam pengawasan korupsi baik di level nasional, regional hingga lokal. Saat ini, kita tak lagi asing dengan istilah “watch”, “pengawas”, “pemantau”, dan istilah lain yang digunakan lembaga sipil tersebut.

Desentralisasi telah membuka ruang terbuka bagi tumbuhnya partisipasi dan kontrol publik. Faktanya, korupsi kian menggurita di berbagai sektor. Sementara itu, lembaga pemerintah sekelas KPK lebih banyak berperan sebagai penindak. Demikian halnya dengan Lembaga Kejaksaan dan Kepolisian. Dalam konsep fraud control system, mencegah lebih baik daripada menangani.

Dalam hal kampanye, gema anti korupsi di Indonesia akhir-akhir ini semakin menguat. Adanya Hari Anti Korupsi yang diperingat setiap tanggal 9 Desember menambah semarak. Berbagai alat peraga seperti film edukasi, baner, poster, leaflet, stiker dari lembaga penegak hukum, perguruan tinggi, hingga ke tempat ibadahpun banyak yang menyeru untuk bersikap menolak tindak korupsi.

Bahkan, alat peraga kampanye Caleg, cabup, capres atau calon pemimpin politik di tingkat lokal, regional maupun nasional juga dipenuhi dengan kampanye menolak anti korupsi. Klaim bersih, jujur dan anti korupsi masih menjadi kalimat persuasi kepada masyarakat calon pemilih. Dengan simbol-simbol seperti itulah, praktek korupsi tetap menjadi common enemy (musuh bersama).

Telaah Budaya korupsi

Hubungan antara korupsi dengan budaya memang telah menjadir sorotan banyak ahli. Dalam khasanah bahasa Jawa, kita mengenal istilah “konjuk kabekten” yang diartikan perilaku seseorang menunjukan balas budi pada orang yang telah memberi keberuntungan. Contohnya kepada raja, sesepuh yang dalam istilah modern bergeser seperti pemberi proyek, pemberi jabatan dan lain sebagainya.

Saat melakukan “konjuk kabekten” yang dibawa tentunya barang berharga yang diharapkan akan disukai. Disinilah muncul istilah “upeti” yaitu harta terpilih dan istimewa. Bentuknya bisa uang, atau emas, perak dan hewan peliharaan. Dalam khazanah modern benda tersebut berubah menjadi cek, emas, mobil mewah, wanita cantik dan lain sebagainya.

Sebagian orang menyebut korupsi adalah budaya. Sebab, dalam bahasa Jawa juga dikenal istilah “asok glondong pangareng-ngareng”. Istilah ini dulunya untuk menyebut perilaku warga yang menghadap Raja dengan membawa hasil bumi sebagai tanda hormat dan tunduk pada kekuasaan Raja atau pemimpin kerajaan. Dalam khazanah modern, kita mengenal praktek ini contoh ketika ada seorang pejabat tender yang baru di sebuah kementrian, di dinas atau lembaga strategis lain.

Umumnya, rekanan saling bersepakat untuk menggelar pertemuan dalam rangka menghadap pejabat tersebut. Ini hukum tak tertulis yang kemudian menjadi pemicu dan pemacu adanya kolusi dan korupsi. Sebab, secara budaya setiap pejabat tender yang baru juga banyak yang tidak menolak ketika ditemui meski kedoknya basa-basi atau hanya sekedar perkenalan.

Komunikasi seperti itulah yang menyebabkan munculnya niat-niat yang tak seharusnya. Lord Acton menyebut bahwa “power tend to corrupt”. Pernyataan ini untuk menegaskan bahwa setiap orang yang berkuasa selalu berkecenderungan untuk korup. Salah satunya karena keterbukaan komunikasi yang menjadikan pemangku kepentingan dalam hubungan batin yang dekat pula.

Jon ST Quah (2013) menegaskan lima penyebab utama korupsi yaitu; rendahnya gaji, adanya kesempatan, hukuman yang rendah, faktor budaya dan rendahnya dukungan politik. Menurutnya, budaya yang permisivis akan menjadi batu penghambat pencegahan tindak korupsi. Sebab, di dalam pikiran bawah sadar juga tidak ada penentangan.

Hal ini sangat berbeda dengan tradisi atau budaya di negara lain. Ambil contoh di China atau Jepang. Akibat rasa malu karena dituduh terlibat tindak korupsi, tak sedikit pejabat mengundurkan diri atau bahkan bunuh diri. Korupsi tetap dianggap sebagai hal yang memilukan dan memalukan kehidupannya.

Meluasnya Lokus Korupsi

Berbagai tindak korupsi yang tidak hanya merambah di dunia politik, ekonomi dan usaha, birokrasi, tetapi juga sudah merambah ke dunia peradilan seperti dalam kasus Akil Muhtar, eks Ketua Mahkamah Konstitusi, menandakan bahwa lokus korupsi semakin menggurita. Termasuk di lembaga kepolisian dalam kasus Irjen Djoko Susilo yang tersangkut kasus simulator SIM.

Tak cukup itu, bidang yang bersentuhan dengan agamapun telah tercemari dengan korupsi. Siapapun pasti miris dan mengelus dada dengan adanya kasus korupsi pengadaan Al Quran, korupsi biaya nikah di KUA. Tak beda halnya korupsi di dunia pendidikan yang akhir-akhir ini menjadi banyak sorotan karena melibatkan orang cerdik pandai, kaum intelektual dan orang berpendidikan lainya.

Lokus korupsi (tentunya juga kolusi dan nepotisme) telah meluas seiring dengan bertambahnya aktor di berbagai bidang. Hampir semua profesi di negeri ini terwakili oleh oknumnya. Tidak hanya pengusaha, politisi, olahragawan, ekonom, birokrat, penegak hukum, tetapi juga telah melibatkan agamawan agama, pendidik, dan lain sebagainya.

Modusnya pun semakin beragam. Bertemu di luar negeri, di hotel, menggunakan pesan BBM, ketemu darat dan lain sebagainya. Alasan yang digunakan pun beragam seperti untuk pemenangan partai, calon Pilkada, investasi hingga kesenangan semata. Tak aneh bila istilah juga semakin kreatif, seperti apel malang, apel washington, fustun, salam putih, arbain milliar cash, dan lain sebagainya.

Belajar dari ribuan kasus yang sudah terungkap dan terselesaikan, sudah saatnya dibuat telaah kritis menyangkut lokus terjadinya korupsi. Telaah tersebut akan memudahkan publik mengenali, mengantisipasi dan ikut menangani bila terjadi tindak korupsi. Publik perlu mengetahui titik kritis terjadinya korupsi dari akar sampai ujung berdasarkan praktek nyata yang terjadi.

Menumbuhkan kejujuran

Publik mengapresiasi progresifitas KPK dalam penindakan kasus korupsi dengan operasi tangkap tangan. Begitu halnya dengan Kejaksanaan dan lembaga penegak hukum lain meski dinilai kalah dibanding KPK. Akan tetapi, faktanya kita sering dihadapkan pertanyaan awam bagaimanakah cara efektif memberantas korupsi.

Inilah hal menarik yang perlu dibahas oleh siapapun. Sebab, spirit pencegahan harus ditumbuhkan agar energi penegak hukum tidak tersedot habis untuk menangani. Dalam dunia kebencanaan, kita mengenal istilah mitigasi sebagai upaya preventif yang dilakukan secara simultan dan menyeluruh untuk menghindari dan meminimalisir terjadinya resiko.

Begitu halnya dalam pencegahan korupsi. Sesungguhnya sudah dikenal istilah fraud control system. Sebuah sistem yang oleh Ketua BPK Hadi Purnomo dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (21/11/2013) diartikan sebagai upaya sistematis guna menutup lubang-lubang adanya kesempatan KKN melalui monitoring yang kuat.

Dengan upaya penutupan kesempatan tersebut, persoalannya tinggal satu yaitu niat. Dimanapun tempatnya dan siapapun orangnya berpotensi punya niat korupsi. Utamanya yang memiliki akses kekuasaan baik dalam hal politik, ekonomi, agama atau aspek lainnya. Niat secara personal harus diantisipasi dengan penguatan pentingnya edukasi dan praktek kejujuran.

Salah satu praktek kejujuran yang efektif adalah di lembaga pendidikan mulai tingkat dasar, menengah hingga perguruan tinggi. Sudah seharusnya ada kurikulum tentang kejujuran yang menjadi pengamatan keseharian karakter anak didik maupun pendidik. Sekolah tak melulu mengajarkan kepandaian otak, tetapi juga bertumpu pada pengembangan karakter jujur.

Sangat perlu skor kejujuran anak didik maupun pendidik terpantau dalam instumen pengujian. Apakah melalui ujian tertulis seperti UN, atau pengamatan perilaku. Jika sejak usia dini telah dibangun moralitas jujur, dalam pikiran alam bawah sadar tentu akan segan melakukan tindak korupsi.

Kasus korupsi yang menimpa Rubi Rubiandini yang notabene Guru Besar Kampus Kenamaan dan pernah menyabet gelar teladan menjadi preseden buruk terhadap model pembelajaran di lembaga pendidikan. Kita tahu bahwa kejujuran belum dianggap sebagai sebuah pembelajaran khusus sehingga tidak menjadi mata pelajaran khusus.

 

 

Upaya Pencegahan Dini

Saat ini telah dikembangkan berbagai metode guna mencegah tindak korupsi. Metode ini juga dikembangkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagai lembaga negara yang menjunjung tinggi independensi, integritas dan profesionalime. Upaya pencegahan yang umum dikenal dengan istilah Fraud Control System telah diinisiasi dan terus didorong oleh BPK.

Atas kewenangannya, BPK berhak mengakses informasi seluruh pengelola keuangan negara khususnya yang telah mengembangkan sistem informasi dengan dana APBN/APBD. Adanya data yang bersifat terpadu dan elektronik, diharapkan akan memudahkan audit yang disebut electronic audit. Hal ini mengefektifkan langkah penelusuran untuk mengetahui matching tidaknya data.

Pada lokus korupsi bermodus perjalanan dinas di birokrasi misalnya, dengan sistem informasi terpadu ini akan memudahkan telaah audit tanpa harus melakukan fieldwork audit. Selain mudah, hal ini memudahkan pengamatan dalam upaya pencegahan dini.  Praktek ini cukup maju akan tetapi belum menjawab persoalan seutuhnya.

Misi BPK untuk memberikan jaminan “Wajar Tanpa Pengecualian” pada pengelolaan keuangan negara melalui e-audit memang patut diapresiasi. Sebagai deteksi awal hal ini memang akan memudahkan telaah modus, lokus berikut aktornya. Selain efisien dan efektif, model pencegahan ini memberi meminimalisir konflik antara auditor dan auditee (orang atau lembaga yang diaudit).

Perlu dicatat bahwa modus kejahatan (termasuk korupsi) selalu selangkah lebih maju dibanding sistem pengawasan dan pencegahan itu sendiri. Sebagai contoh, korupsi bermodus perjalanan dinas. Sampai saat ini, birokrat yang menitip SPPD tanpa menjalani langsung, atau mengurangi volume kunjungan yang bersilisih dengan laporan masih terjadi.

Jika hanya mendasar pelaporan meski telah bersifat elektronik, ada kemungkinan sebagian pelaku juga akan terlatih mengakali laporan supaya “terkesan” akuntable. Pemenuhan beberapa item seperti yang dimintakan sistem elektronik tetap berkemungkinan direkayasa dengan berbagai kecanggihan modus baru.

Untuk itu yang lebih menarik untuk dikembangkan adalah pengawasan berbasis masyarakat. Untuk itulah dibutuhkan keterbukaan informasi yang simultan dan berketerusan dari pengelola keuangan negara. Lahirnya UU No.14 Tentang Keterbukaan Informasi Publik sangat mendukung terhadap tumbuhnya pengawasan masyarakat terhadap indikasi dan potensi korupsi khususnya di birokrasi.

BPK memang telah memiliki kontak pengaduan. Akan tetapi belum dikenal luas sehingga dari jumlah populasi maupun persebaran pengadunya belum optimal. Dibutuhkan, jejaring informasi antar masyarakat luas melalui kampanye yang berketerusan menyangkut metode masyarakat dalam mengenali dan melaporkan pengaduannya.

Pentingnya indepensi

Independensi merupakan faktor utama tercapaianya profesionalitas. Keduanya menjadi bagian tak terpisah. Untuk itu, demi terjaganya tersebut dibutuhkan sosok anggota BPK yang steril dari kepentingan politik. Bagaimanapun, anggota yang berlatar belakang parpol atau memiliki koneksi dengan politik, memberi kemungkinan terhadap menurunya independensi.

Dalam budaya Jawa masih ada istilah “ewuh pakewuh” yaitu sikap segan dalam melakukan sesuatu yang berakibat pengurangan misi seutuhnya. Dalam tugas audit, sikap ini sangat membahayakan karena tidak obyektif. Karena adanya “ewuh pakewuh” akhirnya ada hal-hal yang ditutup-tutupi, direkayasa atau bentuk upaya lain yang justru bertolakbelakang dengan prinsip profesionalisme.

Munculnya tuduhan sebagian publik terhadap lambannya penanganan (audit) terhadap berbagai kasus seperti Hambalang, Century dan kasus lain karena dugaan melibatkan pejabat penting di negeri ini harus menjadi bahan instrospeksi institusi BPK agar meningkatkan profesionalisme tanpa harus melihat siapa, berlatarelakang apa dan kepentingannya apa.

BPK adalah lembaga negara yang paling strategis untuk melakukan pencegahan. Oleh karena itu, harus bekerja secara menyeluruh dalam pencegahan korupsi. Ditengah banyaknya kasus korupsi, sudah saatnya BPK ambil bagian terdepan dengan mendorong masyarakat mengetahui bahaya korupsi bagi keberlangsungan negara ke depannya.

 

*Ali Yasin

Peminat Perubahan Sosial

Tinggal di sidoarjo

Leave a comment