Daun Semanggi Ibu

Posted on

Jemari ibu begitu terampil. Pucuk daun semanggi yang tumbuh di sawah dipungut satu per satu. Daun yang telah terkumpul satu tekam, dimasukan kresek. Sore itu hujam gerimis. Agar tak basah, ibu memakai kudung capil, topi dari anyaman bambu berbentuk bulat dan lebar.

Aku yg saat itu duduk di kelas 2 SD, melihat dgn ngowoh. Ibuku tampak cekatan. Tak sampai 15 menit, semunya selesai. Satu kresek semanggi berhasil dibawa pulang. Dalam perjalanan pulang, aku dan ibu terdiam meski hatiku bertanya semanggi buat apa. Kan hanya tumbuhan liar di pinggir pematang sawah? yah, semua hanya jadi gumamku.

Sesampai di rumah, aku mengikuti ibu ke dapur. Aku melihat, kresek yang berisi semanggi telah dicuci. Sejenak, kulihat ibu menyalahkan kayu bakar dari bambu lapuk yang tersedia menumpuk tak jauh dari tungku. Suara korek jess, sebutan korek api, tampak nyaring terdengar.

Api tak langsung membesar karena kayu kecil dibakar lebih dulu. Di atas tungku terdapat dua lubang. Di desaku, dapur disebut “pawon” dan tungku biasa disebut “pawonan”. Pawon telah menjadi cerita tak terlupa di hidupku. Sebab, disitulah aku mendapat untaian kasih ibu.

Hari sudah petang, semanggi yang telah dicuci dipindahkan ibu ke dalam “dandang” , sebutan panci dikampungku. Dandang  berisi air, kira-kira separonya. Lantas, dandang tersebut diletakan diatas tungku. Api tampak mulai membesar. Aku yang merasa kedinginan berupaya mendekat. Sambil menjulurkan tangan aku ingin mendapat kehangatan.

Sesekali, tanganku memainkan kayu bakar yang habis termakan api. Kayu yang hangus jadi abu, aku ganti. Itulah saat-saat paling menggembirakan.Ibuku tidak cerewet. Hanya sesekali mengingatkanku “hati-hati, awas tangannya kena api!”.

Sejenak kemudian, aku lihat ibu menaruhkan beberapa bumbu diatas panci. Entahlah, apakah itu bawang, gula, garam…karena aku asyik bermain api di tungku, aku seperti tak mau tahu. 15 menit berlalu, kulihat ibu mengangkat panci yang berisi semanggi tersebut. Dituangkannya dalam dua buah mangkok yang dibawanya ke ruang makan.

Aku masih asyik bermain api didekat pawonan. Tak lama, ibu memanggilku. “iii….iiii..” begitulah ibu sering memangilku. Aku yang tak menggubrik panggilan itu, dipanggil lagi “iii…iii”. Tak ingin kena marah, akupun mendatangi ibu, kulihat diatas meja sepiring nasi putih. Disebelahnya terdapat semangkok semanggi.

Aku berkata kepada ibu,”ini semanggi yang diambil di sawah tadi bu!”, ibuku mengangguk tanda iya. Perutku yang sudah lapar sejak disawah, langsung mengajaku menyantap sayur semanggi. Kuahnya aku sruputlebih dulu. Memang masih panas, tapi rasa manis dan nikmat begitu terasa.

Tak ingin lama, akupun segera menumpahkan sebagian sayur dan kuah semanggi keatas nasi. Saat itu aku tak melihat ibu. Ternyata dia pergi kerumah pak waji. Apalagi kalau bukan membelikanku krupuk. “iki krupuke!” kata ibu. Aku pun langsung menyaut opak asin kesukaanku itu.

Rasa manis gurih sayur semanggi, ditambah renyahnya opak asin telah membawaku dalam kenikmatan. Suara adzan magrib berkumandang. AKu masih asyik menghabiskan nasi dan sayur semanggi. Padahal, suara adzan itu terdengar dari langgar (mushola) samping rumahku. Ibuku mengingatkanku agar segera mengakhiri.

Saat ini, semanggi telah menjadi kenanganku. Ia telah jd tanda cinta ibu pdku….sbb itulah aku mengingatnya. Aku tak ingin kehilangan cinta meski 13 tahun lalu engkau telah berpulang ke rahmat Allah..I love you ibu, semoga Allah SWT mempertemukan kita nanti (Allaahumagfirlaha warhamha waafihi wafuanha)

Leave a comment